Baca di catatan facebook ku, ternyata aku pernah menulis seperti ini:
Judul telah direvisi dari judul asli: Buku dan Kita
Indonesia Perlu Membaca
Oleh: Hendra Madjid
“Anehnya, meski pasar lumayan jejal, lapak buku ini nyaris tak ada antrian. Hanya beberapa window shopper yang melihat-lihat lalu beranjak”
Pasar dan lapak buku
Selasa kemarin (22/08) penulis menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di pasar Alabio. Ditemani istri, penulis tidak bermaksud membeli barang yang dijajakan penjual yang tumpah ruah setiap hari selasa dan rabunya.
Hari selasa biasanya pasar tumpah di mulai selepas ashar lalu terus berlanjut menjelang jam Sembilan malam. Lalu dilanjutkan lagi besok harinya mulai bakda subuh hingga Zuhur. Bedanya, di hari rabu pasar tumpah ini jauh lebih padat baik penjual maupun pembeli, karena rabu adalah hari pasar di Alabio. Meskipun di pasar Alabio tetap aktif meskipun bukan selasa atau rabu.
Beberapa takar kacang rebus dibeli istri, lalu penulis menambahkan dua takar keripik pisang yang ditaburi bumbu balado kering. Kami harus mengantre karena penjual kacang rebus ini dikerubuti pembeli baik untuk membeli kacang rebus, keripik pisang, marning ataupun keripik singkong. Nampaknya, penjual kacang rebus ini lumayan dinanti setiap pekannya.
Penulis menyusuri pasar tumpah yang kian padat saja. Tidak ada niat lagi membeli barang tertentu, meski kami sempat bertanya tentang ikat gesper yang dijual dengan harga beragam. Tetap menawar tapi tidak membeli. Untuk mengganjal perut, penulis memakan sepiring makanan berisi sepotong lontong diikuti oleh istri. Tidak bisa terlalu lama di sini, karena beberapa penjual lontong, apam dan pais sagu semuanya sesak oleh pembeli yang silih berganti.
Penjual aksesoris, penjual baju, penjual sandal dan sepatu, penjual ayam goreng, penjual lumpia, penjual es, penjual martabak manis, penjual pentol goreng, penjual CD bajakan, penjual jam tangan murah laris manis dagangannya. Demikian pula penjual pop corn yang biasanya hanya ada di bioskop juga ikut meraup rezeki. Dagangannyapun laris bak kacang goreng, walau tidak ada satupun yang berjual kacang goreng di sini. Rata-rata mereka manyasah pasar. Setiap ada pasar, merekapun hadir di sana untuk berjualan. Orang sini memang orang dagang.
Di salah satu sisi pasar, kami menemui sedikitnya tiga pedagang buku juga hadir di pasar. Biasanya, sebelum Ramadhan dan Lebaran, paling ada satu atau dua pedagang buku. Buku yang dijual beragam. Ada Al Quran, buku Iqra’, buku tuntunan shalat, mujarobat, buku teka-teki silang, tak ketinggalan tasbih dan sedikit minyak wangi. Tapi anehnya, meski pasar lumayan jejal, lapak buku ini nyaris tak ada antrian. Hanya beberapa window shopper yang melihat-lihat lalu beranjak. Sayapun hanya melihat, tak ada buku yang menarik untuk saya beli. Al Quran sudah punya, beberapa buku penunjang juga sudah saya beli. Teka-teki silang apalagi, sudah sudah lama mengubur hobi menghabiskan waktu dengan dereten kolom dan baris jawaban teka teki itu.
Sepinya lapak buku ini juga saya temui di salah satu Bazar buku. Ditempatkan di depan kampus STAI RAKHA, pengunjung tampak tak terlihat. Beberapa kali penulis menemui itu, baik saat mengajak istri, adik atau teman untuk melihat beberapa buku. Setiap kali berkunjung, penulis membeli satu atau dua buah buku ringan untuk dibaca menjelang berbuka puasa atau menunggu apapun. Beberapa kali penulis sempat melirik ke arah kolom penjualan harian di meja kasir. Hanya dua atau tiga transaksi yang terjadi. Padahal, rata-rata kami datang ke Bazar itu menjelang ashar. Walau ternyata, hari terakhir Bazar ada beberapa pengunjung yang memborong buku.
Bazaar serupa sempat dibuat di depan Perpustakaan Daerah Amuntai. Lebih ramai dari pada di RAKHA. Tapi tetap tidak bisa mengalahkan jumlah transaksi dan jejalnya sebuah toko di Pasar Amuntai ataupun Pasar Alabio. Jangan Tanya tentang perpustakaannya, perpustakaan hanya akan ramai jika hari libur telah tiba. Itupun, sebagian besar yang datang ke sana untuk mengakses internet gratis di perpustakaan.
Budaya Baca vs Konsumerisme
Mengutip laporan Bank Dunia Nomor 16369-IND, dan studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achicievement) di Asia Timur, tingkat terendah membaca dipegang oleh negara Indonesia dengan skor 51,7, di bawah Filipina (skor 52,6), Thailand ( skor 65,1), Singapura (skor 74,0), dan Hongkong (skor 75,5). Bukan itu saja, kemampuan orang Indonesia dalam menguasai bahan bacaan juga rendah, hanya 30 persen. Data lain juga menyebutkan (UNDP) dalam Human Report 2000, bahwa angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen. Sedangkan Malaysia sudah mencapai 86,4 persen, dan negara-negara maju seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat umunya sudah mencapai 99,0 persen.
Sempat kaget juga saya, saat mengetahui bahwa Pikiran Rakyat pernah mensinyalir bahwa, biaya yang dikeluarkan bangsa Indonesia untuk membeli Koran tidak lebih dari Rp 2 triliun. Akan tetapi biaya yang dikeluarkan oleh rakyat Indonesia membeli rokok mencapai Rp 27 Triliun. Saya tidak ingat tanggal berapa ini diterbitkan. Ini saja sudah menjadi tanda, bahwa gizi otak orang Indonesia berupa bacaan sangat rendah. Seorang teman dulu pernah bergoyon, bahwa seandainya otak orang Indonesia dijual, maka harganya pasti sangat mahal. Karena jarang dipakai. Nah lho.
Jika kita menyaksikan siaran televisi, sebagian besar acara televisi disisipi oleh iklan. Apalagi, saat tayangan tersebut memiliki ratting yang sangat tinggi. Dan selalu ada iklan televisi yang ditayangkan berulang-ulang, berubah-ubah dan intinya hanya untuk mempengaruhi pemirsa televisi untuk membeli produk mereka. Ya, televisi telah mengajarkan kita untuk membeli apapun barang yang diiklankan. Bagus ataupun tidak, kita didorong untuk membeli, membeli dan membeli. Dengan berbagaimacam propaganda murah, bagus, bermerek dan berkualitas, penonton televisi dirangsang untuk menjadi pembeli. Menjadi konsumtif.
Tidak jarang didapati di sekolah-sekolah bahwa kebiasaan guru dalam membaca kurang dari 1 jam per hari. Kebiasaan membaca yang kurang baik itu bisa dilihat dari jumlah buku baru yang terbit di negeri ini, yaitu hanya sekitar 8.000 judul/tahun. Bandingkan dengan Malaysia yang menerbitkan 15.000 judul/tahun, Vietnam 45.000 judul/tahun, sedangkan Inggris menerbitkan 100.000 judul/tahun! Jumlah judul buku baru yang ditulis dan diterbitkan itu menunjukkan betapa budaya baca masyarakat kita masih tergolong rendah.
Membeli buku jarang, perpustakaan sepi sepertinya inilah tanda kecil, bahwa negeri ini lebih konsumtif daripada membudayakan untuk membeli dan membaca buku.
NB: tulisan ini adalah tulisan yang sengaja saya potong. terlihat seperti tulisan belum tuntas... tapi mohon komentar agar bisa lebih baik lagi.
Perlu waktu agar aku bisa menulis lagi....
Comments
Post a Comment