Sore-sore begini ada waktu luang untuk menulis. Payahnya, tulisan yang sudah diancang-ancang mau ditulis tiba-tiba hilang dari kepala. Bablas! Salah sendiri kenapa tak dicatat dalam bentuk outner atau catatan-catatan kecil.
Biasanya, jika penulis kaliber dewa gampang saja mengatasi hal ini. Karena saat mereka memegang ball point ataupun keyboard, inspirasipun mengalir deras. Seolah layar dan kertas memanggil-manggil agar memori itu kembali dalam bentuk tulisan.
***
Beberapa hari lalu nonton pertandingan Tinju di GOR Rudi Resnawan Banjarbaru. Pertandingan dalam rangka Porprov Kalsel. Belum pernah nonton adu jotos langsung, kerasa banget yealing penonton lain bikin kami juga terpengaruh buat teriak-teriak memberi semangat. Tidak jelas mendukung yang mana. Kadang sudut merah, kadang sudut biru.
Di tengah-tegah pertandingan, salah satu rekan kemudian berkomentar "harat jualah yang hijau...". Artinya kurang lebih begini: "Hebat juga yang hijau". Aku dan Irfan tersenyum sumringah lalu dengan spontan berteriak : "Hijau... Hijau... Hijau...". Hahaha... mana ada yang pakai kostum hijau di atas ring? yang ada hanya merah dan biru. Mungkin maksudnya hijau itu adalah biru. Atau bisa jadi provost yang sedang berdiri di bawah ring. Wallahua'lam.
---
Asosiasi warna biru menjadi hijau di dalam suku banjar, khususnya yang dari pahuluan atau yang sudah tua memang adalah hal yang wajar. Karena berdasar ajaran orang-orang tua di sini, Hijau adalah Hijau dan Biru adalah Hijau. Atau dengan bahasa sederhana, tidak ada warna biru dalam kamus bahasa banjar.
Hal yang sama juga terjadi pada huruf (O). Karena dalam kaidah tulisan bahasa banjar pahuluan huruf (O) disebut sebagai (U) bulat, sedangkan huruf (U) sendiri disebut sebagai (U) pecah. Bingung khan? Hehe... Tapi, begitulah tradisi bahasa begitu mempengaruhi sudut pandang yang tidak jarang mengundang perdebatan kecil antar sesama.
Itu hal-hal kecil. Pada banyak sekali perkara yang lebih besar, informasi-informasi yang keliru sering kali muncul di tengah-tengah kita. Yang kadung dipercayai dan dianggap secara mapan sebagai sesuatu yang dianggap benar. Sering bahkan, mitos-mitos seperti duduk di atas bantal, duduk di tengah-tengah pintu, makan hampadal dan lain-lain juga mengalami perlakuan yang sama.
Barangkali, sejumlah kesalahan bersikap di tengah-tengah masyarakat kita juga dilandasi informasi-informasi salah yang lalu diyakini. Sebagai contoh, "ambil saja duitnya, jangan pilih orangnya..." pada maraknya pemenangnan pemilu dengan money politic. Atau "kasih saja uang pelicin, biar lancar urusan. Kasian beliau sudah bantu" yang belakangan mampu menjadi pupuk untuk menumbuh suburkan korupsi di negara ini.
Dalam pikiranku sederhana saja, saat informasi yang salah kita terima akan berdampak pada kesalahan pola pikir. Dan tentu akan membuat kesalahan dalam bertindak. So, apakah perlu rasanya kita memulai perubahan di tengah-tengah kita dengan merubah informasi yang kita sediakan ke tengah-tengah masyarakat. Jangan sampai kata pepatah barat ini benar-benar berlaku untuk kita: "Garbage in, Garbage out".
Comments
Post a Comment