Adalah benar jika setiap orang berhak untuk mendengar, melihat dan melakukan apapun yang dia mau. Namun tentu tidak semua yang kita dengar, lihat dan lakukan bisa diterima oleh setiap orang.
Sebut saja Budi, bukan nama sebenarnya (dan tentu bukan Budi Saputera, teman saya yang penulis itu) sudah dua kali menegur tetangga yang membunyikan musik terlampau kencang. Terlebih lagi, musik yang diperdengarkan adalah musik bernada house yang tidak terlalu bersahabat di telinga Budi. Sekali-dua kali tentu itu tidak menjadi masalah buat Budi. Namun, Budi yang memiliki bayi di rumahnya tentu tidak akan membiarkan musik mabok itu mencemari otak anaknya yang sedang berkembang.
Pertama, Budi menegur dengan baik. Menyampaikan kepada orang tua tetangga yang ternyata seorang guru. "Bu... minta tolong agar musiknya dicekilkan.... Kasian anak saya. Perkembangan otaknya tidak bagus jika mendengar musik semacam itu". Si Ibu, tetangga itu langsung menghardik anaknya agar segera menghentikan musik tersebut. Suasana langsung sepi, tapi beberapa hari kemudian terlihat tetangga itu seperti membuang muka terhadap Budi dan keluarganya.
Memang tidak mudah hidup bertentanga. Apatah lagi, antar keluarga hanya dipisahkan sekat Plywood tipis. Ya Rumah Budi hanya sebentuk barak atau bidak yang memang menyatu antara satu dengan tetangga. Sehingga, suara kecilpun terdengar di balik dinding. Dan kali kedua Budi menegur, musik berirama sama diperdengarkan lebih nyaring dari sebelumnya. Tentu reaksi Budi jadi lebih tinggi juga. Setelah mengetuk pintu tetangga tadi berkali-kali akhirnya si tetangga muncul dengan mata merah dan langsung kena damprat. "Eh... kalau dengerin musik kencang-kencang. Khan bisa pakai head set? Anda ini mengganggu! Awas ya!"
Budi nampak geram. Namun akhirnya juga sadar selama ini mungkin dia dan keluarganya juga banyak menggangu dengan tangisan bayinya di tengah malam. Tapi dalam hatinya, apa iya suara anak saya bisa keluar hanya melalui head set saja?. Tentu tiangisan bayi seperti itu tidak bisa dikontrol langsung. Hanya bisa didiamkan jika sudah bertemu dengan ibunya dan diberi asi.
Besoknya, tetangga itu seperti membuat front. Menggunjing dibelakang dan berbincang seolah Budi dan keluarganya adalah musuh. Padahal, selama ini Budi dan keluarga sudah mencoba bersahabat dengan bertegur sapa dan sesekali memberikan hadiah kepada tetangga sekitar rumah mereka.
***
Sepenggal cerita tadi memang tidak tuntas. Tapi boleh jadi ini menjadi gambaran sederhana, bahwa hidup bertetangga tidaklah mudah. Kadang harus lembut, kadang juga harus keras. Pernah saya temukan anak teman yang bicara kotor dan kasar. Padahal umurnya baru sekira 4 tahun. Bebera kali menyebut kelamin dan sejenisnya. Siapa yang mengajari? Bukan orang tuanya, tapi anak tetangga yang sering melakukannya dan ditiru oleh anak teman saya tadi.
Perlu disadari pula, bahwa tentu saja kita tidak bisa hidup tanpa tetangga. Namun, tentu harus kita terima pula bahwa tetangga ikut pula mewarnai kelebat emosi dan jiwa pada diri kita dan keluarga. So, sebelum memilih tempat tinggal, ada baiknya kita pilih tetangga juga. Entah anda akan tinggal di komplek, kampung, bidak dan sejenisnya.
Menurut kamu?
fiktif atau pengalaman nih hehehe...
ReplyDeleteRelatif Ron...
Delete