Oleh: Hendra Madjid
Beberapa hari lalu, selasa 26 Agustus 2014 kondisi sekitar Pom Bensin -SPBU-
biasa saja. Biasa, ya seperti biasa. Antrian tidak terlampau panjang dan waktu
berhenti tidak sampai sepuluh menit. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika
mengisi Bensin menggunakan Pick-up. Dan Sepanjang jalan, tidak nampak
antrian yang berarti.
Di hari yang sama, saat membuka beberapa kanal televisi terkabarkan terjadi
antrian panjang di SPBU di beberapa kota. Bahkan beritanya, para pengantre
sampai bermalam untuk sekadar mendapatkan bensin fulltank. Ironisnya dalam
berita itu, ada pengantre yang harus kecewa karena tidak kebagian jatah
BBM
.
.
Terlepas dari ada atau tidak "pelangsir" - atau dalam bahasa kami
Orang yang mengepul bensin untuk dijual lagi secara eceran. Atau mengumpul BBM
dan dijual ke pengecer atau user termasuk dijual ke kalangan industri-, kami
menilai keberadaan media sangat penting di sini. Karena sehari setelah berita
berkali-kali dengan teknik reportase ke beberapa daerah, SPBU di sini
(Banjarbaru)-pun "meledak". Sebagian jalan termakan para pengantre.
Karena antrean makin lama-makin besar dan panjang.
Memang pemerintah telah memutuskan adanya pengurangan kuota untuk BBM
bersubsidi. Tapi blow-up media masa yang memiliki andil besar terjadinya
panic buying di tengah masyarakat. User biasa jadi takut tidak kebagian
atau nanti akan beli dengan harga tinggi di eceran (harusnya sih cuma SPBU yang
jadi pengecer). Pelangsir jadi berlomba mengumpul sebanyak-banyaknya BBM agar
saat dijual lagi bisa untung berlipat. Makin diberitakan, makin panik
masyarakat.
Bagaimana jika tidak diberitakan? Justru kebijkan pemerintah ini akan
memakan korban pen-zaliman terhadap masyarakat. Namun yang terjadi? Muatan
yang sampai kepada masyarakat bukan pada protes atas kebijakan tersebut. Tapi
malah panik. Saya tidak ingin katakan pasti, tapi mungkin saja ada isu-isu yang
sebenarnya cukup strategis jadi tertutupi dengan banyaknya berita ini.
Bayangkan saja, berita soal antrian sepanjang satu kilometer saja di sampaikan
dengan bombastis. Padahal yang mengantre itu adalah truk-truk besar.
Sebelum ini, kami (Khususnya penulis) melihat antrian panjang di SPBU di
sini biasa-biasa. Bahkan, antrian yang terjadi jauh lebih panjang. Ditambah
dengan kondisi jalan yang sempit. Bertambah ruwetlah masalah itu. Merasa biasa,
karena sudah terlalu sering terjadi. Kering rasanya mulut untuk protes.
Akhirnya memilih cara bersabar antre atau mengatur kembali pola belanja untuk
bisa membeli BBM di pengecer.
***
Pernah saya menonton sebuah film Indonesia. Judulnya Republik Twitter. Yang
juga pernah menonton tidak perlu acung tangan. Film itu sebenarnya film tentang
cinta. Namun latar belakang penggunaan twitter di dalamnya menjadi menarik
untuk menjadi diskursus. Bagaimana tidak, pemilik akun twitter akan sangat
populer jika memiliki follower banyak. Apalagi tweet-nya di re-tweet dan menjadi
tranding topic. Bahkan, orang yang tidak memiliki akun twitter saja bisa
dibikin terkenal dengan rekayasa twitter. Saya bilang ini GILA.
Para punggawa Jaringan Islam Liberal (JIL) sempat kebakaran jenggot akibat
hastag #IndonesiaTanpaJIL. Orang jualan kripik singkong bisa laris jualannya,
bahkan tanpa punya toko. Ada artis lagi "berantem", jadi ramai
seolah-olah mereka sedang perang. Dan masih banyak lagi meledaknya sebuah
topik, berita dan sejenisnya karena twitter.
Kita baru bicara twitter. Bagaimanapula dengan facebook atau social media
lain? Bagaimana jika ditambah radio, koran, majalah, situs berita online,
televisi? Ah... ada orang makan upil-pun akan jadi sangat terkenal dan menjadi
buah bibir karena efek blow up media-media tadi. Aib artis yang tadinya kecil,
bisa jadi berita yang menggemparkan. Artisnya bisa malu, atau bahkan menikmati
karena dia semakin terkenal. Padahal berita-berita itu tidak ada hubungannya
dengan kita. Akhirnya kita jadi memikirkan yang sejatinya tidak perlu kita
pikirkan.
Jika ingin melihat bagaimana media saling usul opini, tengoklah ke belakang
bagaimana Pilpres tahun ini? Kita yang tidak terpikirkan saja dipaksa untuk
melihat berita -termasuk opini dan propaganda- yang tidak penting untuk kita.
Berhari-hari tayangan televisi dan berita di media sosial soal konflik kedua
kubu hingga persidangan yang menjemukan.
Dalam kondisi seperti ini, mau-tidak mau, suka-tidak suka kita akhirnya ikut
membincang masalah ini. Karena seolah ini menjadi topik hangat yang terasa
begitu penting untuk dipikirkan dan dibicarakan seluruh lapisan masyarakat.
Tidak sedikit di antaranya jadi saling berkubu dan malah bermusuhan. Saya
sempat geli saat di kantor ada yang begitu ketus dan bernada marah tanpa nalar
saat kami berdiskusi soal salah satu pasangan calon. Hahahaha... hebat.
Pada awalnya mungkin kita marah, tidak setuju, muak dan sejenis keengganan untuk sepakat lainnya. Namun, informasi yang bila masuk secara berulang-ulang perlahan tapi pasti akan membuat pikiran kita terseret untuk setidaknya mengambil sudut pandang yang diberikan oleh pemberi informasi.
Anggap saja begini, misalnya kita tidak terlalu gemar menonton acara gosip. Sekali waktu kita menonton televisi, tanpa sengaja kita memindah saluran ke kanal televisi yang berisi berita gosip. Awalnya merasa jijik, tapi kita terus bertahan untuk menyelesaikan apa berita itu. Walaupun akhirnya kita pindah saluran, tapi sedikit banyak informasi "tidak penting" itu sudah masuk dalam otak kita. Membuat kita berpikir, koq bisa ya artis itu begini-begitu? Pindah kanal lain ada berita serupa, artis itu juga. Kita makin jengkel, tapi di dalam otak kita telah menancap dengan kuat informasi itu.
Apakah kemudian kita lupakan? Kalau berita yang sama pula (ditambah informasi baru) kita liat lagi di media online misalnya, informasi yang sebelumnya tertancap kuat tadi akan kembali dan menjadi tautan dengan informasi lama tapi baru tadi. Akhirnya kita berkesimpulan, pantas saja dia begini-begitu, karena begitu-begini.
Pada awalnya mungkin kita marah, tidak setuju, muak dan sejenis keengganan untuk sepakat lainnya. Namun, informasi yang bila masuk secara berulang-ulang perlahan tapi pasti akan membuat pikiran kita terseret untuk setidaknya mengambil sudut pandang yang diberikan oleh pemberi informasi.
Anggap saja begini, misalnya kita tidak terlalu gemar menonton acara gosip. Sekali waktu kita menonton televisi, tanpa sengaja kita memindah saluran ke kanal televisi yang berisi berita gosip. Awalnya merasa jijik, tapi kita terus bertahan untuk menyelesaikan apa berita itu. Walaupun akhirnya kita pindah saluran, tapi sedikit banyak informasi "tidak penting" itu sudah masuk dalam otak kita. Membuat kita berpikir, koq bisa ya artis itu begini-begitu? Pindah kanal lain ada berita serupa, artis itu juga. Kita makin jengkel, tapi di dalam otak kita telah menancap dengan kuat informasi itu.
Apakah kemudian kita lupakan? Kalau berita yang sama pula (ditambah informasi baru) kita liat lagi di media online misalnya, informasi yang sebelumnya tertancap kuat tadi akan kembali dan menjadi tautan dengan informasi lama tapi baru tadi. Akhirnya kita berkesimpulan, pantas saja dia begini-begitu, karena begitu-begini.
Parahnya, tidak mudah untuk memilah dan memilih informasi yang berseliweran di berbagai media yang ada. Apalagi memilih yang benar-benar netral dan menyampaikan informasi apa adanya tanpa adanya permainan sudut pandang terhadap berita/ informasi itu. Bisa saja sebuah media berbohong dengan berita, berbohong dengan data. Informasinya betul, ada, faktual. Tapi ada informasi lain yang ada tapi tidak disampaikan. Mungkin ada juga yang disampaikan, tapi sekadarnya saja.
Teringatkah kita pada salah satu scene yang cukup menarik dari salah satu film warkop (lupa saya judulnya). Saat Kasino (atau Dono, atau Indro, saya lupa) berjualan koran. Disampaikanlah berita yang bombastis yang sebenarnya tidak ada dalam koran yang mereka jual. Saat ada yang membeli koran tadi, Kasino malah bilang berita lain lagi. "Seorang Polisi Kena Tipu...", "Dua orang mahasiswa kena tipu" dan lain sebagainya. Informasinya benar, dia telah menipu orang yang membeli koran tadi. Tapi dia berbohong dengan memberi informasi itu - yang sebenarnya memang tidak ada di koran yang dia jual-. Strategi bagus, tapi bohong. Informasi betul, tapi direkayasa.
Teringatkah kita pada salah satu scene yang cukup menarik dari salah satu film warkop (lupa saya judulnya). Saat Kasino (atau Dono, atau Indro, saya lupa) berjualan koran. Disampaikanlah berita yang bombastis yang sebenarnya tidak ada dalam koran yang mereka jual. Saat ada yang membeli koran tadi, Kasino malah bilang berita lain lagi. "Seorang Polisi Kena Tipu...", "Dua orang mahasiswa kena tipu" dan lain sebagainya. Informasinya benar, dia telah menipu orang yang membeli koran tadi. Tapi dia berbohong dengan memberi informasi itu - yang sebenarnya memang tidak ada di koran yang dia jual-. Strategi bagus, tapi bohong. Informasi betul, tapi direkayasa.
***
Terlepas dari setuju atau tidak anda dengan pandangan ini, saya tetap ingin
berpendapat. Bahwa media, apapun itu, sangat berpengaruh terhadap apa yang
sedang kita pikirkan saat seluruh tayangan dan beritanya kita konsumsi. Apakah
anda tidak menonton televisi? Jika hanya membaca berita secara online saja,
pasti akan bertemu dengan berita dengan isu yang sama dengan televisi. Dan
pihak media menjadi kelompok yang bertanggung jawab terhadap bagaimana pikiran
rakyat sebuah negara.
Ibarat kata pepatah "Garbage in, Garbage out". Sampah yang
kita konsumsi, sampah pula yang akan keluar. Seberapa sering dan seberapa
banyak kita berinteraksi dengan media, kian bnayak informasi yang masuk ke
dalam benak kita. Jika kita cenderung memilah dan memilih, mungkin akan lain
juga hasilnya. Kalau sebagian besar yang kita pilih adalah sampah, ya sampahlah
yang akan keluar dari kita. Apabila ketergantungan kita cukup tinggi melahap informasi dari media-media yang ada tanpa memberinya saringan ideologi atau prinsip hidup yang benar, boleh jadi media telah menjadi penjara untuk pemikiran kita. Menggiring kita untuk berpandangan serupa dengan pemilik, redaksi atau orang-orang yang berada di balik media.
wallahua'lam
Bagaimana menurut anda?
#Banjarbaru, 29 Agustus 2014
Ditulis menjelang Maghrib. Selesai di post saat adzan Maghrib.
#Banjarbaru, 29 Agustus 2014
Ditulis menjelang Maghrib. Selesai di post saat adzan Maghrib.
Shohih...
ReplyDeleteDitulisnya 2014, Dikomentari tahun 2015, Dibalas tahun 2016.
DeleteMantap banget oi