Tadi malam belanja di Alfamart, saat membayar di kasir dan sudah transaksi saya menanyakan kepada petugasnya. "mbak, gak ditanyain mau beli pulsa?" Kasirnya menjawab: "ah, pian kada nukar jua". Ah, bapak pasti gak beli. Saya jawab: "berarti kalau tidak ditawari khan aku dapat pulsa?" Sontak dua kasir yang sedang melayani saya itu menjawab dengan berbagai alasan diselingi canda.
Ya. Alfamart di samping kantor kami memang kenal dengan orang-orang kantor. Termasuk saya. Sehingga, karena sering belanja beberapa kebutuhan di sana beberapa di antaranya tidak sungkan untuk menyapa jika bertemu. Walaupun saya sendiri kadang sungkan dipanggil "man" untuk paman atau "pak" untuk bapak. Harusnya dipanggil Mas saja, biar kelihatan awet muda. hehe
Beberapa hari lalu (yang saya perhatikan) memang di meja kasir Alfamart tertulis "Apabila kasir tidak menanyakan kartu Ponta (member) dan menawarkan isi ulang pulsa, maka pelanggan berhak mendapatkan pulsa 10K". Dan Ai*a, salah satu kasir yang terlupa menawarkan hal itu seperti merasa tertodong dan mencoba mengelak. Seolah memang karena sudah kenal, tidak mengapa tak menawarkan pilihan itu. Kejadiannya tepat dua hari lalu sebelum tadi malam.
Saya sebenarnya tidak mengapa tidak mendapatkan hak. Karena sadar, gaji mereka saja sudah kecil. Masa harus dipotong lagi sama komplain kita? Karena memang, beberapa kali bahkan saat tidak ada uang kembalian, kasirnya juga secara sukarela memberi jatah poin dia untuk menutupi total tagihan belanjaan. Sedikit, tapi sering.
Dulu sebelum ada kebijakan memberi pulsa, Alfamart juga memberikan mug/ mangkok jika karyawannya yang bertugas tidak menawarkan pulsa atau menyakan kartu anggota. Sepele memang. Hanya menawarkan pulsa yang untungnya tidak seberapa. Hanya menanyakan kartu anggota agar anggota bisa menambah poin. Tapi, semua itu -menurut saya- tidak sepele dan memiliki impact yang besar untuk perusahaan.
Bagaimana tidak, misalnya 1 alfamart saja memiliki 200 pengunjung setiap hari. Maka, apabila convertion ratenya untuk beli pula adalah 20%. berarti ada sekitar 40 orang yang akan closing membeli pulsa. Kalau 40 orang mengisi pulsa dengan rata-rata untung seribu rupiah, berarti akan dapat 40K sehari. Sebulan dapat 120K. Jika di Kalsel saja punya 200 cabang, itu berarti 24 juta dalam genggaman. Sedikit? Ya. memang sedikit. Tapi jika dikalikan dengan total seluruh Alfamart? Akan besar juga.
Okelah kita kesampingkan masalah jualan pulsa. Coba kita nilai dari sisi tawaran menggunakan kartu member. Dari sisi bisnis, tidak ada uang yang dikeruk dari tawaran ini. Bahkan, kartu ini memungkinkan kita memotong tagihan receh dari total belanja kita dari poin yang ada di dalamnya. Bisa pula untuk beli kantong plastik yang sekarang dikenakan charge 200 perak.
Penggunaan kartu member secara tidak sadar sebenarnya adalah bagian dari upaya alfamart untuk mendapatkan repeat order. Agar konsumen menjadi customer. Agar pembeli datang lagi. Kalau datang lagi, kemungkinan untuk pembelian item-item lain akan semakin tinggi tingkat konversinya. Sederhana, tapi impact-nya terhadap bisnis tinggi. Menanamkan loyalitas yang menjadi tujuan dari Branding.
Ya. Hal semacam inilah yang membuat Alfamart (dan Indomaret, termasuk ritel-ritel lain) mampu mengalahkan para pedagang tradisional yang hanya memiliki stok lalu menjualnya. Jangan lupa, ritel ini sering sekali memiliki program diskon yang kalau dihitung-hitung harganya pasti lebih murah daripada kita membeli di toko eceran tradisional. Lama kelamaan, mereka yang masih menggunakan cara-cara konvensional dalam menjual pasti akan mati.
Kita kemudian boleh berujar, "wajarlah...! Mereka khan besar. Modalnya besar. Mereknya sudah terkenal. Lha kita?"
Tapi, apakah kita sudah menyadari. Bahwa yang namanya Branding itu tidak melulu memerlukan dana besar untuk dibangun. Prosesnya memang tidak sebentar. Namun, Branding bisa bahkan dilakukan dengan tanpa uang. Asal konsisten, Insya Allah akan besar juga. Karena Brand Awareness tidak dibangun dalam satu dua hari. Dianya hadir dalam benak konsumen (yang kemudian menjadi pelanggan) selama bertahun-tahun.
Misalnya saja, kenapa di warung-warung kopi tertentu bisa ramainya minta ampun? Padahal, yang diseduh hanya kopi instan yang kita bisa buat sendiri di rumah. Atau mie instan yang diseduh sebentar saja sudah bisa dinikmati. Dari pengamatan saya, warung-warung itu (tradisional juga) memberikan customer experience yang tidak didapatkan ketika mereka menyeduh kopi atau membuat mie instan sendiri di rumah. Ada papan catur, ada obrolan sesama (senasib sepenanggungan), bahkan curhatan-curhatan politik hadir di sini. Bahkan beberapa kasus, warung kopi, warung mie instan, gerobak gorengan dan sejenisnya justru lebih ramai dibandingkan coofee shop, cafe ataupun warung makan yang di-create sedemikian rupa agar orang mau datang.
Saya saja, waktu di Banjarmasin sangat senang makan di warung Pangestu (entah sekarang masih ada atau tidak). Sejak di depan kampus UNLAM sampai pindah ke depan kantor harian Mata Banua, saya setia ke sana. Untuk makan sendiri, bersama saudara ataupun mengajak teman dan adik tingkat. Pangestu, suka sekali bicara dengan pelanggannya. Mulai dari hal remeh sampai hal pelik seperti obrolan politik. Terhadap saya, yang merupakan pelanggannya, sering diberi porsi ekstra. Mulai dari ekstra nasi dan ayam (untuk nasi goreng) dan ektra sambal (untuk lalapan). Hingga kadang sampai lupa waktu saat keasikan ngobrol. Datang tengah malam, pulangnya jam 2 pagi.
Warung itu ramai? Alhamdulillah, setiap berkunjung ke sana ada sering habisnya daripada sisa. Sekarang saya sudah tidak pernah lagi ke sana. Hanya tersisa rindu untuk kembali makan dan menikmati obrolan dengan beliau.
Hal inipun membuat saya teringat kembali. Bahwa Branding itu tidak mahal. Hanya perlu cara yang tepat dan konsisten untuk dilakukan. Jika anda telah mengeluarkan banyak dana untuk membuat logo, kemasan yang baik, konsep produk yang matang, layanan dan perlakuan terbaik terhadap pelanggan dan membangun citra yang melekat kuat di benak konsumen, tapi brand anda tidak disadari bahkan dikenal oleh pelanggan? Apa boleh buat? Mungkin anda sedang tidak beruntung. Hahaha
***
Maka dari itu, adalah wajib bagi pebisnis untuk mengetahui citra apa yang akan dibangun agar mendapatkan pelanggan setia. Politikus dan publik figure harus sadar, citra dan karakteristik apa yang ingin mereka bangun agar memiliki pendukung setia dan fanbase yang kuat.
Bagi yang berada di #banjarmasin dan #kalimantanSelatan, ada acara perihal branding yang bagus untuk diikuti. Bersama Andika Dwijatmiko, CEO Syafaat Marcomm pada tanggal 19 Maret tahun ini.
Tertarik? Hubungi 081250163663 (wa, telegram, telpon)
atau email ke saya
sumber: pengalaman pribadi, Gambar
***
NB. Judulnya agak gimanaaa gitu. Kalau ada usulan yang baik, saya akan ganti.
Comments
Post a Comment