DEMO SEGALA BENTUK YANG BERBAU ONLINE, KARENA MERUGIKAN !!!!!Seharusnya seluruh karyawan kantor pos demo, karena telah dirugikan dengan adanya layanan surat gratis.Seharusnya seluruh karyawan koran cetak demo, karena telah dirugikan dengan adanya pasang iklan gratis.
Seharusnya pedagang toko-toko di pasar demo, karena telah dirugikan dengan adanya penjual yang membuka toko secara online.Guru-guru disekolah harus demo, gara-gara internet banyak murid yang tidak bertanya pada guru lagi, dan itu merugikan.Seluruh karyawan perpustakaan harus demo, karena banyaknya situs-situs yang menyediakan buku gratis merugikan perpustakaan.Yang jualan buku harus demo, karena sangat dirugikan karena sekarang banyak yang jualan ebook dan buku secara online.POKOKNYA TOLAK SEGALA BENTUK YANG BERBAU ONLINE, KARENA MERUGIKAN......
(Irfan Albanjari, Rumah bungas. FB)
Saya sendiri tidak terlalu menyimak soal demo yang dilakukan oleh supir perusahaan konvensional yang beroperasi di Jakarta. Termasuk bentrok yang kabarnya terjadi dengan supir (baik taksi maupun ojeg) yang berbasis aplikasi online. Tapi pagi ini sebuah diskusi di grup Whatsapp (WA): Success People benar-benar menggelitik pemikiran saya untuk membuat sebuah tulisan berkaitan dengan itu. Karena, salah satu member membagikan foto berirama "sadis" yang menggambarkan pasukan hijau yang kepalanya berdarah-darah dan dikeroyoki.
Beberapa gambar terlihat seperti Hoax dan seolah hanya membuat dendam kesumat berkelanjutan dan menjadikan masalah bertambah runcing. Padahal, duduk perkaranya bukan terletak pada para "pekerja". Tapi lebih dalam lagi. Akhirnya, dengan "berat hati" saya membuat tulisan ini.
***
Sebelumnya saya membaca tulisan pak Reinald Kasali yang membuka alam pikiran saya tentang konflik itu. Tulisan yang berjudul "berdamai dengan perubahan" itu cukup panjang. Tapi menginspirasi. Tulisan panjangnya dibagikan di Telegram lalu saya post kembali di Grup WA Success People. Salah satu ungkapan beliau adalah sebagai berikut:
Dalam era crowd business, siapapun bisa menjadi pemasok Anda, tetapi sekaligus menjadi konsumen Anda. Crowd business kian kencang berputar akibat kemajuan teknologi informasi— yang terutama membuat arus informasi mengalir deras dan sekaligus memangkas biaya-biaya transaksi (Reinald Kasali, 17/03/16 Rumah Perubahan)Saya sendiri sadar, bahwa teknologi informasi bergerak sangat cepat. Membuat semua hal terasa lebih mudah, lebih cepat, lebih efisien dan tentu saja lebih murah. Bayangkan saja, bagaimana dulu kita (yang tidak punya telepon rumah) harus pergi ke wartel untuk sekadar menelpon. Saya sendiri mengalami itu saat ingin menelpon senior kampus atau "pujaan hati". Namun, bisnis wartel khan sekarang tidak lagi inn dan terpaksa hilang karena hadirnya handphone. Bahkan, kehadiran Handphone-pun membunuh secara perlahan keberadaan telepon rumah. Walau dalam kasus telepon rumah, Telkom masih bisa mensiasai dengan paket berlangganan Speedy yang mewajibkan penggunaan telepon rumah.
Dulu sekali, saat kelas tiga SMP. Saya sempat ikut klub Fillateli. Mengumpulan perangko dari zaman ke zaman, dari berbagai negara. Karena surat merupakan salah satu bagian relevan dari kehidupan masyarakat kita. Saat itu pula di majalah-majalah remaja berhamburan ragam pilihan rubrik berkorespondensi dengan "teman" di luar pulau. Sekadar berkenalan ataupun bertukar pengalaman. Surat telah digantikan oleh email dan millis. Sementara korespondensi saat ini sudah diwakili oleh sms yang kemudian dihabisi oleh sosial media. Dan akhirnya Fillatellii jadi hobi yang sangat langka. Kalau tidak ingin dikatakan sudah kehilangan penggemar.
Atau betapa gelinya saya, saat mengingat dulu sering sekali mendengar radio yang memutar banyak lagu-lagu melayu (SlowRock, Malaysia) dengan menyelinginya Attensi, kirim-kirim salam dan puisi. Anda tahu sendiri lah, apa yang terjadi dengan semua itu. Menyisakan kegelian yang menyenangkan. Memori yang indah.
Semua itu dinamakan perubahan. Kawan! Perubahan yang oleh Purnama Adil disebut sebagai:
Yang sebenarnya berujung pada hal yang sama. Merubah sesuatu yang memang sebenarnya sama saja. Berulang. Hanya metode dan peralatannya saja yang berbeda. Dulu kita mengenal bagaimana sulitnya seseorang mencuri, harus mengintip, mengawasi, mengamati perilaku dan lain-lain atas targetnnya. Sekarangpun sama, katanya berubah. Tapi email pishing juga begitu. Cuma beda tools.Plus ça change, plus c'est la même chose(Semakin sesuatu itu berubah, semakin ia sama saja). (Purnama Adil Marata, 1992, hal. 1).
Menurut Made Supriatma, kondisi hadirnya layanan online saat ini justru telah terjadi sejak lama. Disebut sebagai sharing Ekonomi. Yang kemudian menjadi landasan seolah menjadi respon atas kapitaslime yang mengurat-akar di tengah-tengah masyarakat. Dia menggambarkan, bahwa sharing ekonomi didasari oleh trust antara kedua belah pihak (dalam hal ini, penjual dan pembeli) yang memiliki kebutuhan yang sama. Pemilik mobil merasa mobilnya tidak maksimal terpakai, memaksimalkan penggunaannya dengan menjadikannya armada grab, uber atau nebeng. Sementara konsumen membutuhkan biaya yang jauh di bawah standar dengan service yang sama dengan penjual lain.
Tapi, kapitaslime membuat saling percaya dan saling butuh itu jadi absurd. Karena kedua belah pihak sebenarnnya membela kapentingannya sendiri.
Dengan kata lain, tidak ada dalam kamus kapitalisme itu keadaan saling mempercayai. Yang ada adalah kepentingan kedua belah pihak yang bertransaksi itu dipenuhi. Itulah sebabnya 'trust' itu harus dijamin dengan kontrak (contract) dan setiap kontrak itu suci (sacrosanct) dan karenanya harus ditaati. Kapitalisme punya lembaga yang menjamin agar kontrak ini ditepati dan lembaga ini yang akan memaksa supaya kontrak itu dijalankan. (Made Supriatma)Hal ini, terjadi sudah sejak jauh hari. Dalam masalah tanah misalnya. Di kampung-kampung di Kalimantan Selatan populer istilah "mengarunakan" yang memungkinkan pemilik tanah memberikan kesempatan untuk menggarap lahan kepada orang lain yang ingin bertani. Pemilik tanah mendapat kompensasi dengan biaya bagi hasil, sementara penggarap lahan dapat hasil pertanian tanpa harus memiliki tanah. Sama-sama untung khan?.
Teknologi memang membuat semua orang yang "mapan" dan tidak mau mengikuti seperti tergerus dan perlahan tapi pasti menuju kematian. Namun, mereka yang berdamai dengan perubahan. Mengadopsi teknologi, merubah sedikit kanvas model bisnisnya dengan melibatkan teknologi. Tidak akan kalah telak kalau terlambat. Meskipun, pada fakta Nokia, mereka memang kebobolan terlalu banyak. Makanya harus degradasi dan mengubah core bisnisnya.
Belum lama ini saya menikmatinya di sebuah desa di Spanyol Selatan, dan saya puas. Kasus serupa menimpa Lego, perusahaan mainan anak, yang terancam bangkrut pada awal 1990-an. Hadirnya video games membuat anak-anak kita tak berminat lagi dengan batu bata mainan buatan Lego. Namun, perusahaan itu mampu bangkit lagi dengan mengandalkan inovasi dari orangorang di luar perusahaan, atau crowd sourcing.(Reinald Kasali, Rumah Perubahan)
Ya! Teknologi memang urusan inovasi. Semakin besar kemauan manusia untuk berinovasi dan beradaptasi, semakin besar pula peluangnya untuk bertahan. Seperti yang diungkapkan Darwin soal survival of the fittest. Dalam dunia binatang, proses adaptasi itu merubah morfologi dirinya agar bisa bertahan.
Beberapa waktu lalu saya sekilas menonton Indonesia Lawyers Club di TVONE. Saat itu sedang ada diskusi soal taksi konvensional dan taksi online. Om Karni Ilyas bertanya kepada beberapa pimpinan perusahaan taksi konvensional seperti Bluebird soal perbedaan penghasilannya sejak kehadiran taksi online. Jawabnya sama saja. Nah! Yang lainpun menjawab malu-malu, bahwa tidak ada perbedaan penghasilan yang mereka dapatkan dari perusahaan taksinya.
Yang aneh. Kenapa harus supir taksinya berdemo? Di beberapa berita sudah disebut. Saat ini tarikan sedang sepi, tapi perusahaan meminta setoran dinaikkan. Nah? Koq tidak mendemo Perusahaan saja? Kenapa harus protes dengan keberadaan Taksi Online? Apa tidak salah alamat?
Lebih buruk lagi, ternyata pimpinan perusahaan taksi itu seperti mencibir soal "hanya" bermodal aplikasi kepada perusahaan taksi online. Yang mereka sendiri juga bisa untuk membuatnya. Bahkan katanya sudah membuat. Mereka sendiri bermodal armada, Pole, Izin dan lain sebagainya. Seperti kebakaran jenggot dengan keberadaan taksi online. Lah, kalau penghasilan tetap sama. Kenapa harus kebakaran jenggot?
***
Kembali ke kutipan teman saya Irfan yang saya masukkan di atas.
DEMO SEGALA BENTUK YANG BERBAU ONLINE, KARENA MERUGIKAN !!!!!Seharusnya seluruh karyawan kantor pos demo, karena telah dirugikan dengan adanya layanan surat gratis.Seharusnya seluruh karyawan koran cetak demo, karena telah dirugikan dengan adanya pasang iklan gratis.
Seharusnya pedagang toko-toko di pasar demo, karena telah dirugikan dengan adanya penjual yang membuka toko secara online.Guru-guru disekolah harus demo, gara-gara internet banyak murid yang tidak bertanya pada guru lagi, dan itu merugikan.Seluruh karyawan perpustakaan harus demo, karena banyaknya situs-situs yang menyediakan buku gratis merugikan perpustakaan.Yang jualan buku harus demo, karena sangat dirugikan karena sekarang banyak yang jualan ebook dan buku secara online.POKOKNYA TOLAK SEGALA BENTUK YANG BERBAU ONLINE, KARENA MERUGIKAN......
(Irfan Albanjari, Rumah bungas. FB)Kalau ingin berdemo. Semua yang memilki pandangan bahwa teknologi itu merupakan masalah, harusnya melakukan hal yang sama. Sebagaimana penjual buku diari yang harusnya protes kepada Google karena menyediakan blogspot sebagai ladang curhat. Atau kita demo saja Tuhan karena telah memberikan otak kepada manusia untuk menciptakan teknologi. Fair tidak?
![]() |
Demo |
Tentu saja itu tidak mungkin. Berdemo atas ketidakpuasan kita tentang sebuah permasalahan memang merupakan sebuah cara. Tapi, demo saja tidak cukup. Seperti beberapa hari lalu terjadi demo yang mengatasnamakan Masyarakat Kalimantan soal pemadaman listrik yang dilakukan oleh PLN secara sporadis dan cenderung tidak selesai masalahnya. Dampaknya? Kalau tidak bikin macet, kadang bisa terjadi bentrok dengan aparat, bentrok sesama anggota masyarakat, bentrok sama pemerintah. Apa hasilnya? Perubahan? Bisa jadi. Namun apakah perubahan itu akan berjalan mulus atau bahkan menyakitkan? Memakan korban.
Sehingga, saya berkesimpulan. Tidak perlulah menyalah-nyalahkan teknologi sebagai biang keladi sepinya usaha kita. Lalu melakukan "inovasi" dengan menaikkan setoran kepada supir taksi yang hidupnya sudah tidak mudah. Kalau dikatakan aplikasi itu sebagai modal yang "cuma", bikin saja yang serupa. Ada aplikasinya. Naikkan pelayanan, berikan program potongan harga. Maka, persaingan pasti akan semakin seru. Tidak melulu fokus pada menyalahkan orang lain, tapi meningkatkan kapasitas diri.
***
Sehingga, saya berkesimpulan. Tidak perlulah menyalah-nyalahkan teknologi sebagai biang keladi sepinya usaha kita. Lalu melakukan "inovasi" dengan menaikkan setoran kepada supir taksi yang hidupnya sudah tidak mudah. Kalau dikatakan aplikasi itu sebagai modal yang "cuma", bikin saja yang serupa. Ada aplikasinya. Naikkan pelayanan, berikan program potongan harga. Maka, persaingan pasti akan semakin seru. Tidak melulu fokus pada menyalahkan orang lain, tapi meningkatkan kapasitas diri.
Memang, kalau kondisi mapan. Kondisi nyaman itu melenakan. Tapi, kalau tidak bergerak. Kalau tidak berinovasi, kemapanan itu akan menghabiskan kia. Karena itulah, salah satu teori perubahan yang saya pelajari dari guru saya Jamil Azzaini. Kita harus keluar dari "comfort zone" kita agar bisa berubah menjadi lebih baik. Bisa jadi, sekarang teknologi adalah salah satu sisi kehidupan yang menantang kita untuk berubah. Namun bisa jadi, teknologi (termasuk internet di dalamnya) ini nanti bisa berubah jadi zona aman yang lain. Yang mengharuskan kita untuk meninggalkannya. Karena ada sisi kehidupan lain yang lebih baik.
Perubahan itu pasti. Dan akan terus terjadi. Kecuali kepada perubahan itu sendiri (anonim).
Kalau tidak, bersiap-siaplah untuk segera punah.
Aku ingin mendemo Tuhan dalam masalah hati.. kena Tuhan menitipkan rasa yang salah.. wkwkwk
ReplyDeleteAkai lah... Hai. Masa salah punya perasaan?
Delete