Skip to main content

Iri Abah

Selain sayang dengan Abah (ayah saya), saya sebenarnya iri dengan beliau. iri dalam artian pencapaian dalam hidup di usia yang sama saat ini. Menjelang tiga puluh.


Iri yang sebenarnya wajar dan membuat saya termotivasi untuk menjadi lebih baik dari sekadar menjadi anak sekaligus ayah bagi anak-anak saya. Saat saya berusia enam bulan, Abah sudah membeli sebidang tanah seluas 22 borongan. 22 borongan, kalau di konversi ke satuan luas standar setara dengan 6.458 meter persegi (1 borongan = 289 m persegi). Lebih dari setengah hektar.

Abah dan Cucunya (anak saya). Koleksi Pribadi
Tanah itu kemudian selain dijadikan lahan garapan untuk menanam padi, galangannya juga dimanfaatkan untuk berkebun jeruk. Istilah yang saya pahami kemudian saat sekolah disebut Tumpang Sari. Memaksimalkan lahan untuk beberapa jenis tanaman dalam satu waktu. Tujuannya sederhana, padi untuk konsumsi harian dan kebutuhan lain (dijual jika berlebihan). Sementara jeruk adalah investasi beliau untuk biaya sekolah saya dan kelak.

Keputusan untuk membeli tanah dan bertani dengan sistem tumpang sari itu menurut saya (saat ini) adalah keputusan yang visioner. Mengingat, tidak banyak orang yang bertani (setahu saya) memikirkan jauh bertahun-tahun ke depan untuk membiayai sekolah dan keberhasilan anaknya. Mungkin beliau yang hanya orang kampung itu tidak menyebut keputusannya sebagai investasi yang visioner, tapi begitulah adanya.

Selain memiliki sebidang tanah untuk bertani, Abah juga membangun rumah tepat di samping tanah itu. Letaknya sangat strategis. Tak jauh dari batas perusahaan Daya Sakti, dan di depan dua sungai. Memang di pinggir sungai, tapi letak inilah yang pernah membuat kepala desa ingin membuat proyek "prestisius" yang menghubungkan Daya Sakti dengan Desa kami, Jelapat Baru. Dan proyek itu melalui tanah Abah. Meski pada akhirnya proyek itu tidak berjalan karena Abah menolak untuk memberikan tanahnya untuk dibuat jalan.

Saya belum mengerti betul sampai saat ini kenapa beliau melakukan itu. Tapi yang jelas, harga tanah beliau saat ini nilainya sudah berpuluh-puluh kali lipat jika dibandingkan dengan dulu saat beliau membelinya. Mau dijual? Sayang. Karena kebun jeruk yang membiayai sekolah dan kuliah saya masih produktif, meskipun sudah ada yang mati. Bayangkan, kebun jeruk itu sudah berusia hampir 30 tahun. Dan mampu menginspirasi banyak warga kampung untuk juga menanam jeruk sekaligus bertani padi.

Sederhananya, beliau mampu membeli tanah kedua, ketiga, keempat dan berikutnya dari tanah yang 22 borongan itu. Dari jualan padi dan jeruk.

Dan pilihan-pilihan hidup itu, meski sederhana membuat saya kembali berpikir. Bahwa apa yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, generasi ayah saya ke atas benar-benar luar biasa. Yang tentu saja membuat kita iri. Mereka punya tanah hektaran sebelum menginjak usia empat puluh. Sudah memiliki rumah tak lama setelah menikah. Lalu kita?

Dua tahun lalu, saya bicara dengan salah satu penumpang saat naik taksi menuju Amuntai. Beliau banyak bercerita soal kepemilikan tanahnya yang ada di mana-mana. Tak berhenti otak saya bertanya lalu berucap: "Koq bisa ya generasi sekarang tanah saja banyak yang belum punya. Rumah malah kredit".

Dulu orang-orang tua kita tidak memiliki fasilitas sebanyak kita saat ini. Akses jalan tidak sebagus sekarang, pemilik kendaraan bermotorpun bisa dihitung dengan jari. Internet? Apalagi internet. Untuk urusan komputer saja, saya yang orang kampung ini baru belajar di akhir kelas 1 SMA. Meski terbatas, orang-orang tua kita zaman dulu (meski ada juga yang gagal) sudah bertransformasi menjadi pemilik tanah, pedagang ulung, bahkan politisi matang yang punya segudang jaringan dan pengaruh yang luar biasa besar.

Saya tidak ingin menjadi manusia yang apriori melihat bagaimana pemuda-pemuda tanggung saat ini sudah banyak yang menjadi milyarder. Belum tiga puluh sudah memiliki jaringan perusahaan yang sehat. Hebat. Tapi apakah itu berlaku umum? Sebagian yang saya temui malah terlalu banyak mengeluh. Mau usaha tidak punya modal, berhenti. Mau kaya, tapi malu jadi pedagang. Mau punya modal sendiri malah memikirkan utang. Meskipun mungkin pandangan saya ini salah.

Memang sih, ada banyak faktor yang memang membedakan generasi saat ini dan generasi dulu. Selain karena jumlah penduduk yang semakin meningkat, persaingan semakin ketat, harga properti yang gila-gilaan dan tentu akses informasi yang semakin cepat. Membuat tidak gampang untuk kita meraih pencapaian-pencapaian yang dimiliki orang tua kita dulu. Kalau boleh membanding, menurut saya generasi dulu juga mengalami hal yang sama. Tapi dengan kadar dan cara yang berbeda.

Apakah dulu jumlah penduduk tidak meningkat? Tidak. Justru orang-orang tua generasi terdahulu memiliki anak lebih banyak dari generasi kita saat ini. Kita sudah ngos-ngosan dengan dua anak, mereka malah ingin menggenapkan anaknya menjadi selusin meski sudah memiliki 10 anak.

Bukankah persaingan tidak ketat? Kata siapa? Persaingan itu terjadi dalam sekup yang lebih kecil. Antar kandidat kepala desa, antar pedagang, antara para petani, antara pemilik tanah dan lain-lain. Sementara saat ini persaingan itu terlihat sangat rapat, karena kita meletakkan diri kita dalam kotak yang lebih luas. Pernah tidak mengalami masa di mana kalian hanya makan nasi berkuah teh? Atau makan nasi bercampur garam? Ingin jajan es potong dibilang itu ngayau yang lagi cari kepala? Kalau pernah, orang tua kita dulu merasakan kondisi yang sama dengan kita. Persaingan, yang membuat mereka mengencangkan ikat pinggang agar modal tidak tergerus oleh kebutuhan konsumtif. Karena jika tidak berhemat, bagaimana mereka bisa membeli tanah lagi? Bagaimana bisa menambah barang dagangan untuk dijual?

Bagaimana dengan harga properti? Menurut saya yang awam ini, harga properti saat itu sudah terkategori mahal. Karena, untuk membeli lahan 22 borongan saja, Abah harus mengeluarkan uang sebesar 6 juta rupiah (kalau tidak salah). 6 juta di tahun 1986 adalah jumlah yang tidak sedikit. Dengan dolar di tahun itu adalah Rp 1.664/ USD (sumber: merdeka). Atau kurs dolar saat ini (Rp 13.000,-) adalah 7,81 kali dari nilai dolar saat itu. Kalau dulu harga tanah itu adalah 6 juta, dengan kurs sekarang, itu setara dengan 46,8 juta rupiah. Mahal? Tanah seharga 7.300,-/m di daerah Jelapat Baru adalah harga yang mahal.

Tentu harga itu akan sangat berbeda dengan harga kota. Di Liang Anggang saja, harga tanah luas bisa mencapai 5 - 10 ribu permeter. Apalagi kalau kita bergeser ke arah dalam kota Banjarbaru. Artinnya apa? Harga properti juga mahal di masa itu.

Mungkin bedanya hanya masalah informasi. Karena di zaman dulu memang berkirim surat saja adalah barang langka. Kalau kita dapat surat, apalagi surat cinta, itu bikin hati lebih berbunga dari bunga-bunga di taman. hehe. Apalagi Telepon, sms, internet, situs, blog, aah... seharusnya kita lebih maju karena mendapatkan akses informasi lebih mudah dari orang-orang tua kita di zaman dulu.

***
Secara sederhana, saya  ingin katakan. Bahwa faktor terbesar yang dimiliki oleh orang-orang terdahulu (termasuk Bill Gates, Donald Trump dan Steve Jobs kayaknya termasuk orang tua zaman dulu) yang juga harus kita miliki saat ini adalah. Kita harus berfikir jauh ke depan. Memiliki visi yang jelas soal masa depan kita, soal anak-anak kita dan tentau saja vis soal bagaimana dunia ini menjadi tempat yang lebih baik.

Selain memiliki visi yang jelas, seorang manusia tentu harus berinvestasi pada perkara yang mendukung visinya itu. Saya mungkin tidak iri dengan kepemilikan tanah Abah di usianya saat ini. Lebih kepada, bagaimana sebenarnya beliau berinvestasi untuk mewujudkan visi besarnya untuk keluarga kami. Abah, memilih mengumpulkan uang untuk membeli tanah dan melakukan tumpang sari dalam bercocok tanam. Orang-orang besar yang kita kenang saat ini saya yakin juga melakukan itu. Mereka memiliki visi dan berinvestasi untuk mewujudkan visinya itu.

Bagaimana mungkin dahulu Bill Gates yang bermimpi setiap rumah memiliki PC jika dia tidak berinvestasi dengan membangun perusahaan bernama microsoft? Investasinya berupa ide, pengetahuan dan kerja keras. Bagaimana bisa seorang yang saat ini kita kenal sebagai penulis hebat tidak pernah membaca buku dan berlatih secara rutin dengan terus menulis?

Visi yang besar, tugas yang besar. Semua bergantung kepada kita. Bagaimana mengejanya. Saya sendiri, ingin mengukir tinta peradaban dunia dengan menulis. Menginspirasi banyak orang untuk menjadi lebih baik setiap harinya. Dan tentu, sebagai seorang muslim saya memiliki visi Akhirat. Yakni bertemu dengan Allah. Berbisnis dan menulis akan jadi salah dua jalan yang akan saya tempuh. Blog ini, adalah investasi saya. Investasi yang tidak akan saya sia-siakan lagi.

Karena cerita iri Abah ini mungkin akan berulang di masa yang akan datang. Walau saya ingin, agar mereka sudah mencapai titik paham dan sadar tentang semua ini sebelum setua saya.

***

Sepertinya saya harus mengakhiri tulisan ini agar tidak melebar terlalu jauh. Bagaimana jika kita lanjutkan saja buah pemikiran saya besok sambil makan jeruk di kebun Abah?

Comments

Popular posts from this blog

Gila?

Saat bertemu di halaman rawat inap Puskesmas Alabio, beliau ajak saya ngobrol. Katanya resiko hidup punya banyak kenalan, tiap hari jenguk orang yang sakit. Saat direspon, kayaknya agak roaming gimana gitu... Di sebagian sisi halaman parkir ada ibu-ibu salah satu tetangga ranjang kami memberi isyarat. Beliau menempelkan jari telunjuk di alis. Isyarat yang sudah lama tidak pernah saya lihat. Yang menggambarkan, bahkan orang yang dimaksud sedang "miring", urat syaraf otaknya putus, agak sinting atai setengah gila. Dan benar. Menurut cerita istri, beliau ini terkenal di kampung sebagai orang "gila" yang hebat mengaji. Terlihat dari sepeda motornya yang bersih mengkilat tidak menunjukkan tanda-tanda kegilaan. Setidaknya, saat mendengarkan suara beliau sebelum adzan subuh dikumandangkan. Benar! Beliau mengaji. Dan dalam beberapa kesempatan juga adzan. "Ashsholaatu Khayrum min annawm..." Suara cemprengnya menyeru kami untuk segera bangun dan menuju masji...

TDA Camp Loksado yang Menyisakan Penyesalan

Arsip TDA Camp - Loksado Sesal kemudian memang tiada guna, tapi mau bagaimana lagi. Jika memang sudah itu yang terjadi, semoga bisa jadi pelajaran di kemudian hari. Hal ini pulalah yang masih saya ingat pada moment menjelang akhir tahun lalu di acara TDA Camp. Acara yang memang sudah diagendakan sejak lama itu mengambil tempat di Loksado, Hulu Sungai Selatan - Kalimantan Selatan. Sejak awal keberangkatan pada hari itu sudah berisi penyesalan. Beberapa anggota TDA Banjarmasin yang tidak bisa ikut acara merasa menyesal karena tidak ikut. Pelajaran moral 1: Kalau ada acara piknik, kumpul-kumpul dalam komunitas, upayakan untuk ikuti. Kalau tidak, buat apa gabung komunitas? Trivia: Wisata alam loksado terletak di Desa Loklahung. Dan masih jadi misteri, apa sebenarnya makna dari Loklahung ini. Karena kalau meninjau dari kosakata, Lok Bermakna Teluk. Sedangkah Lahung bisa bermakna buah Layung (sejenis durian), atau bisa juga bermakna pelacur. Berangkat pada 25 Desember di ...

Mourinho Jadi Manajer MU, Welcome Jose.

Tidak tahu saya, apakah harus bergembira hati atau bersedih saat Manajemen Manchester United hari ini resmi menunjuk Jose Mourinho sebagai manajer baru. Bersedih karena bukan Giggs yang jadi Manajer? Tidak suka dengan dia? Absurd. Toh CV Mourinho sebagai pelatih kelas dunia yang menjuarai Liga Champions bersama Porto dan Inter MIlan tidak jelas-jelas harus membuat saya merasa bahagia. Sebagaimana fans-fans MU lainnya yang kadung rindu sejak pertengahan musim lalu.  Ada taggar #welcomeJose yang sekarang sudah beredar yang menandakan secara resmi, Mou jadi Manajer MU. Baca juga:  Mou untuk MU? Soal MU, Goal dan sistem dalam perusahaan Bukankah publik Old Trafford sangat haus akan prestasi. Meski dahaganya sudah terobati dengan hadirnya piala FA yang kembali dijunjung tinggi setelah terakhir pada 2004. Diyakini, bahwa kehadiran pria kebangsaan Portugal itu akan membuat MU kembali ke jalur yang benar. Insyaf menghuni 2 besar yang dalam 3 tahun terakhir tidak te...