Senin kemarin, saat melaksanakan shalat maghrib berjamaah di "mushalla" kantor suasananya biasa saja. Sebagaimana orang beribadah pada umumnya. Namun, suasana mendadak berubah senyap setelah terjadi pemadaman listrik di area kami. Sekejap semuanya gelap.
Tapi, canggihnya tubuh manusia. Kegelapan itu berangsur berkurang intensitasnya. Karena secara alamiah, mata kita beradaptasi secara fisiologis. Pupil membesar, karena jumlah partikel cahaya berkurang. Semakin lama, kita akan terbiasa dengan kondisi itu dan cenderung melihat kondisi sekitar dengan lebih terang. Mantap! Keren sekali Allah menciptakan kita ya?
Adaptasi inipun berlaku pada beberapa kasus, misalnya saja adaptasi kita saat menghadapi cuaca ektrim. Secara umum, kadar eritrosit (darah merah) akan berubah. Jumlah hemoglobin (hb)-nya meningkat drastis jika memang mengalami perubahan iklim yang ektrim. Sehingga, kita bisa melihat bagaimana orang-orang "gunung" cenderung memiliki Hb yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan penduduk pantai.
Pada intinya, dalam kondisi apapun secara fitrah manusia sudah diberikan tools oleh Sang Pencipta untuk bisa bertahan. Selama memang masih dalam batas kemampuan yang dimilikinya. Bahkan, beberapa penelitian saat ini sedang mengarah kepada bagaimana manusia bisa hidup di luar bumi. Entah itu bulan, Mars atau planet di luar Tata Surya kita. Walaupun, untuk bisa hidup harus menggunakan berbagai perangkat tambahan yang menunjang kinerja tubuh kita agar bisa bertahan.
***
Tak lama berselang, meraung bunyi mesin genset dari ruko sebelah. Ritel seperti Alfamart ini pasti tidak akan membiarkan tokonya sepi hanya karena tidak ada aliran listrik. Ya iya lah. Bagaimana customer mau belaja terhadap barang-barang yang tidak bisa dilihat secara jelas pada display produk mereka? Selain karena memamng faktor keamanan dan kenyamanan dalam berbelanja tentunya. Kegelapan yang tadinya berkurang karena efek adaptasi kemudian mengarah sirna.
Kami sendiri memilih menyalakan lilin, biar lebih romantis gitu. hehe
Yang spesial, hari ini areal kami mendapat jatah lebih banyak untuk urusan pemadaman. Mulai dari pagi sejak jam 8.30 sampai jam 1 siang. Lalu dilanjut lagi dari jam 2 sampai jam 4. Apakah sudah berhenti sampai di situ? Tidak, jam 5 lampu kembali padam sampai jam 6. Seperti minum obat saja. Pemadaman listrik sampai tiga kali sehari. Bahkan plus malam pula.
Beberapa kawan mengeluh dengan pemadaman ini. Karena pekerjaannya yang terhubung dengan listrik. Mau tidak mau, pasti menghambat produktifitas kerja. Akhirnya harus lembur karena menyelesaikan pekerjaan di hari itu agar tidak menumpuk di hari berikutnya.
Sebagian yang lain, memilih untuk diam dan menerima apa adanya kondisi ini. Mau protes, sepertinya sekadar mengumpat melalui media sosial tidak akan menghidupkan aliran listrik.
Sebagian yang memang memiliki keberanian dan power memilih untuk melakukan somasi kepada PLN Kalselteng. Gugatan itu sudah disampaikan beberapa waktu lalu oleh paguyuban pengacara lokal sini. Ada hasilnya? Sementara hingga hari ini (kamis, 16/03) kondisi sepertinya membaik. Membaik, karena tidak ada pemadaman 3x1 lagi.
***
Saya sebenarnya memilih sikap yang kedua. Diam dan menerima saja keadaan. Walau akhirnya saya memilih untuk menuangkan kegelisahan itu dalam bentuk post di blog ini.
Karena, sejak kecil di sekitar tahun 90-an, kami sudah terbiasa dengan aliran listrik yang "seadanya' ini. Belajar di antara lampu teplok, baju yang menjadi hitam karena asap minyak tanah atau selamatan (kenduri) yang kadang harus sedikit interupsi karena harus memompa tabung petromax. Walau semakin ke sini, lampu teplok, lampu duduk dan strongkeng (bahasa kami untuk sebutan petromax) sudah sangat jarang ditemukan di kampung saya.
Karena adaptasi itulah, banyak di antaranya semacam memiliki ketergantungan tingkat akut terhadap listrik. Apalagi yang sudah terhubung ke dunia luar dengan jalur social media. Eksistensinya seakan tenggelam karena pemadaman listrik. Atau sekadar tidak bisa menonton sinetron kegemaran untuk menghiasi malam.
Ayolah! Kita tetap bisa beradaptasi dengan baik kawan! Kitapun bisa melakukan aksi-aksi yang membuat kebutuhan listrik ini terpenuhi. Kita bisa merancang pembangkit listrik lokal dengan tenaga angin, tenaga surya dan sejenisnya yang bisa dikelola unsur pemerintahan tingkat desa. Apalagi? Banyak lah. Insya Allah kita tidak kekurangan orang pintar untuk bisa memikirkan dan mengeksekusinya.
Mengharapkan PLN yang katanya terus merugi untuk bisa memperbaiki keadaan ini, boleh saja. Walaupun proses perbaikan itu melibatkan banyak pihak (pemerintah, swasta, masyarakat) dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Meski, barangkali cuma di Kalsel saja yang begini. Karena beberapa kali saya ke Jakarta saya tidak temukan pemadaman secara sporadis seperti ini. Semacam tindakan tidak adilkah? entahlah!
Saya sendiri sebenarnya kecewa dan ingin bilang: "PLN oh PLN... mengapa kau perlakukan kami seperti ini? Kau nyalakan listrik di Ibukota, tapi kau matikan di sini. Mengapa?" Saat Uda Wempy Diocta Koto mengisi acara BI di Golden Tulipe dan mendapati kondisi seperti ini beberapa waktu lalu bersama Billy Boen. Uda hanya bilang: "Hanya di Banjarmasin yang begini" dengan logat britishnya yang kental. Tidak apa-apa Uda, nanti kalau sudah lama tinggal di sini pasti akan terbiasa.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Inikah kabar gembira itu? Atau sekadar Gombalan manis penghilang resah?
Ada tulisan pak Sainul Hermawan yang bagus untuk dibaca. Silakan langsung ke TKP.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Inikah kabar gembira itu? Atau sekadar Gombalan manis penghilang resah?
Ada tulisan pak Sainul Hermawan yang bagus untuk dibaca. Silakan langsung ke TKP.
artikelnya bagus bang hhe.
ReplyDeletekebetulan baru tadi siang nyimak dialog pln bareng pwnu kalsel di aula sabilal.
ada satu jawaban pak purnomo yang saya notice. sumber daya (batubara) kita memang banyak, tapi unit mesinnya yang kurang, jadi harap bersabar... sekian.
Unit mesin pembangkit itu bukan hanya kurang. Tapi sudah tua-tua. Kalau tidak salah sejak tahun 1974. Nah, Hampir seumuran oran-tua kita...
Delete