Pernah menonton film animasi 3D yang berjudul Up? Film yang menggambarkan keinginan seorang yang memiliki cita-cita yang dia bangun bersama istrinya menjadi petualang. Hingga sang istri menghilang, hanya sebuah gambar tempat yang berada "di atas awan" yang membuat Fredricksen tertarik sebagai destinasi.
Tempat itu belakangan saya ketahui berada di daerah Amerika selatan dan di film disebut sebagai paradise fall. Disebut begitu, karena baik secara animasi ataupun penampakan aslinya memang sangat menakjubkan. Seolah surga memang jatuh di situ. Di Venezuela tempat itu disebut angels fall.
Selain soal paradise fall, ada scene menarik dari film UP ini. Saat Russel yang "usil" itu terus mengganggu Mr Fredricksen untuk mendapatkan badge, ada pemandangan "tragis". Karena rumah Mr Fredricksen itu berada persis disamping sebuah pembangunan mega project properti. Saya tidak telalu ingat, mungkin saat itu proyek mall atau resort dan sejenisnya. Hebatnya, Mr Fredricksen memang tidak mau menjual properti miliknya meski sudah disurati berkali-kali.
Pihak pengembang sepertinya tidak ingin menggunakan cara-cara mafioso untuk mengakuisisi properti itu sebagaimana yang sering kita saksikan di film-film buatan Amerika. Termasuk sinetron Indonesia (yang membuat saya sebenarnya merasa geli). Mereka terus mengirimkan penawaran, dengan tawaran selalu naik nilainya. Semua yang pernah menonton film ini tahu bahwa Fredricksen bergeming dan malah menjalankan unpredictable action. Dia angkat rumahnya dengan menggunakan balon.
Kita tidak pernlu ceritakan ya detailnya, karena kalau teman-teman belum nonton bisa cari filmnya untuk di-khatam-kan sendiri. Karena memang tulisan ini dimaksudkan bukan untuk meresensi petualangan Carl Fredricksen dan Russel si Anak Pramuka itu.
***
Jika di Film Up rumah Mr Fredricksen nyaris dikepung oleh bangunan komersil, betupun yang terjadi di dunia nyata. Dekat dengan kita, di Banjarmasin sebuah Sekolah Dasar terpaksa "direlokasi" untuk merelakan lahan yang sudah digunakan bertahun-tahun itu sebagai salah satu spot parkir DUTA MALL.
Di Banjarbaru, sebuah sekolah yang persis bersebelahan dengan Q-Mall sepertinya harus mengalami hal yang sama. Terusir dari zona nyaman-nya, menuju tempat yang lebih "kondusif". Entah berapa banyak lagi bangunan-bangunan pendidikan, rumah ibadah, rumah warga dan yang sejenisnya harus rela mangkat dari posisi aslinya ke lokasi berbeda karena akan dibangun perumahan mewah, bangunan komersil, resort, hotel dan lain-lain. Saya tidak tahu. Tapi kalau diteliti lebih dalam, kita pasti akan temukan faktanya. Tentu saja, ada tawaran-tawaran menggiurkan yang menggoda keikhlasan pemilik kuasa properti itu untuk menjual atau menyewakannya.
Diakui atau tidak, bisnis di bidang properti ini begitu menggiurkan. Seksi. Apealing-nya luar biasa. Seperti yang dilaporkan Bisnis, setiap tahunnya kenaikan harga properti (dalam kasusu ini rumah) mencapai 20%. Bahkan, dalam periode "bulan mau" di antara tahun 2010 sampai 2013, kenaiknnya berkisar 30 - 40%. Artinya, jika saat ini kita membeli rumah seharga 110 juta rupiah, dipastikan minimal harganya menjadi 132 juta. Bahkan bisa meledak sampai angka 154 juta. WOW!
Dahulu Abah pernah ditawari untuk membeli tanah di bilangan Rawasari. Tapi karena karakter lahan-nya gambut yang penuh lumpur, hal ini tentu tidak menarik bagi petani yang punya visi seperti Abah (baca tulisan sebelumnya; Iri Abah). Lahan yang bahkan hanya ditumbuhi peropok itu terlalu banyak air tidak cocok untuk ditanani padi apalagi jeruk. Walau saat itu harganya terkategori "murah". Tapi apa yang terjadi sekarang? Hutan Peropok dan kangkung liar itu sudah bertransformasi menjadi hutan rumah. Area padat. Jangan tanya berapa harganya.
Kenaikan harga properti ini terjadi sebenarnya bukan hanya dihitung dalam periode tahun. Tapi bisa terjadi berdasarkan kuartalan, atau empat bulanan. Salah satu berita yang menunjukkan ini, saya kutipkan dari VIVA News.
Menurut survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI), sebagian besar responden (35,38 persen) mengatakan bahwa tekanan kenaikan harga properti residensial terutama berasal dari kenaikan harga bahan bangunan dan diperkuat tingginya upah pekerja (22,25 persen), serta mahalnya biaya perizinan (17,38 persen).
Sementara itu, berdasarkan wilayah (secara kuartalan/qtq), kenaikan harga properti residensial paling tinggi terjadi di wilayah Manado yaitu sebesar 3,04 persen, terutama pada rumah tipe kecil (5,94 persen). Kondisi yang sama juga terjadi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jabodebek), dan Banten.
Memang, untuk rumah bertipe residensial kenaikannya tidak teralalu signifikan. Tapi karena memang karena harga dasarnya yang mahal, kenaikan itu juga terlihat tinggi.
Survei itu juga menyebutkan, secara tahunan (yoy), harga properti residensial mengalami peningkatan. Indeks harga properti residensial secara tahunan tercatat mengalami peningkatan sebesar 2,91 persen, lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga pada periode yang sama tahun sebelumnya (2,31 persen)
Melihat ini, tentu saja para pebisnis pemula pasti akan memasang matanya lebih jeli. Untuk melihat kemungkinan, apakah mereka akan juga terjun ke bisnis ini. Beberapa tahun belakangan, saya mengamati. Banyak sekali seminar-seminar, training, bahkan workshop yang mengarahkan kita untuk berbisnis di bidang properti. Mulai dari seminar membeli properti tanpa uang lah, seminar developer syariah lah, dan acara sejenis. Bahkan, perkembangan start up digital saat ini sudah mulai merambah pasar properti sebagai marketplace commerce.
Lisat saja. Ada rumah123, rumah.com, tribun, bahkan Toko Bagus dan Berniaga (yang sekarang jadi OLX) membuat kategori properti dalam fitur platform mereka.
Meskipun, teman saya sempat meragukan. Apakah bisa kita beli properti dengan hanya duduk di muka layar atau menyentuh smartphone? Bukankah membeli properti itu perlu survey, perlengkapan persyaratan, wawancara dan hal-hal rumit lainnya? Memang benar. Apalagi dengan harga yang setinggi itu, risiko penipuan sangat tinggi. Tapi, ke depannya semua itu bukan hal yang mustahil khan?
***
Selain bagian scene soal pembelian tanah Mr. Fredricksen yang saya sebut di atas, saya juga sempat berpikir soal properti tanpa tanah. Meski, sebenarnya bisnis properti itu intinya adalah bisnis tanah. Tapi saat rumahnya bisa UP dengan balon yang jumlahya ratusan (bahkan ribuan) itu, seolah tempat tinggal tidak perlu lagi tanah. Hal ini mungkin saja. Mengingat, di beberapa negara sekarang sudah bukan hal yang asing lagi hidup nomaden di dalam trailer. Pasti menarik. Kita tidak perlu dibebankan dengan biaya beli tanah yang mahal, cukup berpindah jika memang sudah bosan atau lingkungan tempat tinggal tidak kondusif.
Menjadi nomaden mungkin membuat kita kembali menjadi primitif. Walau mungkin, gaya hidup berpindah ini bisa menjadi solusi atas harga properti yang makin tidak realistis saja. Tidak realistis, karena penghasilan kita berada pada digit yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Sementara, harga properti bisa saja bertambah satu digit hanya dengan berganti tahun.
Yang paling praktis, saat ada uang dan ada tawaran membeli tanah. Tanahnya aman, beli. Jika belum prospek untuk membangun rumah saat ini, diamkan saja. Jadikan investasi yang membuat kita terkejut suatu hari. Karena properti tak pernah basi sebagaimana nasi.
sumber gambar: Static
Comments
Post a Comment