Aa Gym dulu pernah berujar dalam ceramahnya (yang saya baca pula dalam booklet berseri yang berjudul -kalau tidak salah- Seni Mengkritik dan Menerima Kritik) tentang hakikat kenapa Allah memberikan manusia dua telinga dan satu mulut. Bahwa, manusia diminta oleh-Nya untuk lebih banyak mendengar daripada bicara. Lebih banyak belajar daripada mengajar.
Diakui atau tidak, sebagian besar orang yang mengajar saat ini lebih banyak belajar. Sehingga, setiap kuliah, ceramah, diskusi, dialog dan sejenisnya terlihat sangat kaya dan selalu ada ha-hal baru. Meski tema yang disampaikan sama sebagaimana yang pernah kita dengar sebelumnya. Logikanya, jika kita mengajarkan yang itu-itu saja. Sementara otak kita tidak mendapatkan upgrade yang lebih banyak, maka akan lebih banyak orang yang bosan dengan omongan dan materi kita. Meskipun, apa yang disampaikan adalah sesuatu yang benar, sahih.
Egoisme dalam hati kita sering membisik, bahwa kita ini besar. Sehingga tidak perlu mendengar. Padahal salah. Semakin besar seseorang, makin tinggi pula inginnya belajar, membaca dan mendengar. Saya tambahkan membaca, karena ternyata kita juga punya dua mata untuk melihat (dan membaca). Jadi, saluran pembelajaran ada empat pintu. Sementara untuk mengeluarkannya ada satu. Mulut.
Padahal, jika bisikan-bisikan itu telah merasuk ke dalam jiwa kita, benih-benih kesombongan akan muncul. Dan Bahayanya, justru sombong inilah yang menjadi salah satu asbab Iblis dikeluarkan Allah dari Surga. Kalau kita memilikinya, maka bisa jadi kita tidak akan mencium bau surga.
Padahal, jika bisikan-bisikan itu telah merasuk ke dalam jiwa kita, benih-benih kesombongan akan muncul. Dan Bahayanya, justru sombong inilah yang menjadi salah satu asbab Iblis dikeluarkan Allah dari Surga. Kalau kita memilikinya, maka bisa jadi kita tidak akan mencium bau surga.
![]() |
Hadits tentang SOMBONG |
Berikut adalah cara-cara efektif (bukan teknis) untuk mudah belajar.
Kosongkan Gelasmu
Dalam banyak sekali training yang pernah saya ikuti. Di awal acara sering para pembicara hebat itu menginstruksikan untuk mengosongkan gelas. Atau mengosongkan kepala. Bukan untuk indoktrinasi. Tapi untuk membuat kita siap menerima pengetahuan dan ilmu baru. Tanpa menghapus ilmu dan ingatan kita.
"Bang! Matikan Handphone juga". Owh iya. Selain mengosongkan gelas (pikiran), para trainer meminta kita untuk mematikan handphone atau mensilent-kannya agar tidak mengganggu diri sendiri dan orang lain.
Dua hal ini adalah manifestasi dari open mind dan konsentrasi. Kunci sukses kita untuk belajar sesuatu yang baru atau memperkaya ilmu yang sudah kita miliki selama ini. Tanpa dua hal ini (khususnya yang pertama), sulit rasanya kita menerima pelajaran karena di kepala kita sudah ada barrier yang menghalangi masuknya hidayah.
Di kehidupan sehari-hari, sering sekali kita menemuan fakta ini. Ada orang yang dengan angkuhnya mengatakan bahwa Ia sudah tahu apa yang kita sampaikan. Sudah ada ilmu. Sehingga, diskusi dan dialogpun berakhir tanpa permisi. Saya sih, Feel Free saja menemui orang-orang semacam ini. Karena tidak bisa saya pungkiri, kadang dalam kondisi tertentu juga berada dalam posisi ini. Merasa benar dan orang lain salah. Merasa berilmu dan orang lain bodoh.
Sederhana memang. Kalimat "saya sudah tahu" adalah tutup gelas itu. "i Know that all" mengindikasikan bahwa kita jauh dari kata rendah hati. Padahal orang seperti Steve Jobs saja dengan ringan menyebutkan, "stay hungry, stay foolish" Tetap lapar dan tetap bodoh. Kalau toh orang mengatakan kita bodoh, apa salahnya? Toh dengan pintar-pun kita tidak langsung naik takhta menjadi mulia.
![]() |
Steve Jobs Quote |
Membersihan kotoran
Ada sebuah simulasi menarik yang dulu digambarkan oleh guru-nda. Ustadz Wahyudi Ibnu Yusuf perihal gelas berisi air kotor. Beliau bertanya kala itu sembari membawa sebuah gelas berisi air kotor. "bagaimana cara membersihkan isi gelas ini". Beragam jawaban dan asumsi muncul di benak saya. Mungkinkah dengan memberi tawas agar airnya bersih? Tapi khan masih ada geladak, birak atau apapun sebutan saya waktu itu. Atau buang saja air kotor itu lalu ganti dengan air bersih?
Pada kenyataannya, kata ustadz Wahyudi. Air kotor nan keruh dalam gelas itu adalah semua pikiran yang ada dalam benak kita. Semua bentuk cara pandang tentang dunia. Saat itu beliau memasukkan perlahan-lahan air bersih ke dalam gela berisi air kotor itu. Seluruh isi air meluber, limpuar. Perlahan tapi pasti, air yang keruh berangsur lebih jernih hingga habis air kotornya. Dan tersisa hanya yang bersih saja.
Kalau bicara soal kapasitas otak, saya merasa tidak satupun dari kita yang benar-benar penuh isinya. Karena, tidak seratus persen saja otak kita berjalan dengan optimal, ada orang-orang sejenius Einstein, Hawking, Al-khawarizmi, Ibnu Sina, atau seperti Adik Musa yang baru-baru ini mewakili Indonesia dalam kompetisi Hafizh dunia. Yang itu berarti, otak kita masih terbuka dengan sangat luas untuk mengisinya dengan simpul-simpul ilmu dan pengetahuan baru. Jika ada pengetahuan lama yang rusak, buruk, jahat beredar di sela-sela otak, lama-kelamaan akan pudar dan akhirnya hilang dari memori.
Dalam Posting lama, saya menyebut. Bahwa informasi yang beredar di sekitar saat ini banyak yang hanya berisi sampah. Perara-perkara negatif bahkan tiada guna terus membombardir. Apakah tetap harus open minded terhadap semua itu?
Ya. Jika informasi itu tersebar bebas tanpa halangan baik secara sadar ataupun bawah sadar. Memang informasi ada yang mengandung ilmu dan hikmah, ada pula yang hanya sekadar informasi kosong dan bernilai negatif. Sebagian guru menyaranan, untuk menutup akses infomasi negatif dengan tidak menonton televisi, tidak membaca koran kriminal dan tidak berteman di sosial media dengan manusia-manusia negatif.
Karena akses lebih banyak terhadap informasi bergizi berupa ilmu dan hikmah, dia secara tidak langsung membersihan informasi sampah. Semakin berkesan informasi bergizi ini akan menacap kuat dalam benak. Semakin berpola, semakin terbentuklah standar baik-buruk, benar-salah, terpuji-tercela. Sehingga, saat kita memang "sudah" memiliki ilmu dan membuka gelas kita untuk tetap kosong, memori dan informasi bergizi ini akan menjadi membran yang mampu mem-filter. Menyaring kotoran dan hanya mengambil yang bersih saja.
Sederhannya, mempelajari hal-hal baru yang bersifat positif akan membentuk pola. Tinggal pertanyaan sederhannya, pola seperti apa yang kita ingin bentuk.
Tanpa Belajar, Otak menjadi tumpul
Diceritakan ada seorang pemuda yang ditugaskan untuk menebang pohon di hutan. Setiap pohon yang ditebang dihargai dua puluh ribu. Artinya, semakin banyak pohon yang ditebang, semakin besar pula uang yang didapat. Tapi untuk menebang pohon, pemuda ini hanya diberikan sebuah kapak.
Di hari pertama, dia mampu menumbangkan sepuluh pohon. Hari kedua, jumlah yang sama juga didapat. Namun, total pohon yang ditebang semakin berkurang setiap harinya. Bahkan hingga hari ke sepuluh, pemuda ini susah payah untuk merobohkan dua batang pohon seharian penuh.
Di hari ke sebelas, sang pemuda akhirnya menyerah. Karena satu pohon saja seharian belum juga roboh. Hasilnya, bayang-bayang mendapatkan uang sebanyak 6 juta selama sebulan itupun sirna.
Apa pasal? Ternyata, pemuda tadi tidak mempersiapkan batu asah. Batu yang digunakan untuk mengasah kapak tadi saat menjadi tumpul. Semakin sering digunakan, semakin tumpul. Semakin berkuranglah produktifitas yang dimiliknya. Semakin kecil pula potensi penghasilan yang dia dapat.
Sifat diri dan kapabilitas kita juga begitu. Tanpa diasah, kita akan mandeg. Tanpa ada ilmu dan pengetahuan baru, produktifitas kita menurun. Para Guru menyarankan, investasi paling besar yang harus dikeluarkan seseorang saat mendapatkan income, adalah investasi kepala ke atas. Bukan perut ke bawah.
Ikutilah workshop, Pelatihan. Hadiahkanlah kepada otak kita buku untuk dibaca. Berdiskusilah dengan orang-orang positif. Adalah sekian bayak cara investasi ke atas itu. Kalaulah kemudian mau menyitir kembali pandangan Nabi Muhammad SAW, cukuplah perkataan beliau "Tuntutlah Ilmu walau ke negeri China"
![]() |
Keutamaan Menuntut Ilmu |
Comments
Post a Comment