Bagi yang langsung mampir ke bagian ini, boleh ditengok dulu bagian pembuka di sini.
Baiklah!
Ini adalah bagian pertama dari beberapa seri tulisan yang saya rencanakan (belum tahun sampai berapa seri. hehe). Bagian ini adalah PR besar untuk saya dan istri, dan mungkin juga teman-teman semua.
1821 Kumpul Keluarga
Apa itu 1821 Kumpul Keluarga? Seperti angka pada tahun ya? Bukan. Ini adalah singkatan dari pukul 18.00 hingga 21.00. Tiga jam penuh kenikmatan dan penting dalam membangun pendidikan anak-anak kita di rumah.
Seringkali, mungkin disadari atau tidak. Kita sedang update status: "Quality Time nih." padahal ada anak yang sedang ingin menunjukkan hasil gambarnya kepada kita. Atau sedang merengek mengajak kita untuk menemaninya bermain. Waktu berkualitas dengan keluarga koq masih sempat-sempatnya update status? Belum lagi kalau ada komentar dari status itu, lalu kita membalas. Dibalas lagi, kita balik membalas. Lha! Apa kita sedang bersama keluarga atau bersama teman maya kita?
![]() |
Program 1821 |
Tiga jam dalam 1821 ini sebenarnya adalah perwujudan dari quality time itu sendiri. Mengajak anak dan istri bercerita, bermain, mengejakan PR, mengajarkan mereka agama, kisah para nabi dan sahabat dan lain sebagainya. Termasuk berbicara dari hati-ke-hati kepada mereka. NO Smartphone! NO Internet! NO Update status! NO Blogging! NO TV! Termasuk NO Haji Muhidin. #eh.
Apalagi di masa emas tumbuh kembang anak, antara usia nol hingga 12 tahun. tiga jam ini sebaiknya dilakukan ujar Abah Ihsan. Sehingga, sampai usia itulah, biasanya waktu maksimal yang bisa dimanfaatkan orang tua untuk mendidik dan menanamkan nilai dan kebiasaan kepada anak. Karena setelah usia 12 tahun, umumnya anak sudah memiliki kesibukan lebih besar di luar rumah.
Saya kemudian mengangkat tangan saat diberi kesempatan bertanya. "Bah... Bagaimana orang tua seperti saya? Berada empat jam jauhnya dari rumah. Dan hanya pulang setiap sabtu dan minggu. Sering bahkan sabtu malam baru sampai rumah. Praktis hanya hari minggu yang jadi full time family. Itupun lebih sering digunakan untuk istirahat. Usai lelah di perjalanan".
Belakangan istri saya bilang, bahwa ada juga rekannya dari barisan Ibu-ibu yang punya pertanyaan serupa. Sepertinya pertanyaan itu sudah mewakili kondisi yang sama dialami keluarganya.
Abah bilang, kondisi itu adalah kondisi yang membimbangkan. Dan betapa tidak mengenakkannya menjalani LDM. Long Distance Marriage (LDM). LDR anak zaman sekarang menyebutnya. Sehingga jika kedua orang tua sama-sama bekerja tapi terpisah jarak yang lumayan jauh, salah satunya harus menurunkan ego dengan berhenti bekerja atau berpindah tempat kerja agar keluarga bisa bersatu seutuhnya.
Karena, peran orang tua itu bukan sekadar monopoli istri semata. Meski, tugas utama mereka pada ruang lingkup domestik. Tapi Keberadaan ayah-lah yang wajib ada sehingga pembentukan mental, akhlak dan kebiasaan anak terbentuk sempurna. Sudahlah istri sibuk dengan pekerjaannya, ditambah lagi dengan mengurus anak lalu rumah. Kemungkinan besar ada satu atau dua kewajibannya yang akan terbengkalai karena kelelahan dan kehilangan fokus.
Istri saya sendiri sepertinya merasa betul tidak bisa fokus kepada kedua anak sekaligus dengan usia yang tidak terpaut jauh. Kadang si Kakak harus merasa dikalahkan dengan perhatian Umi kepada Abang yang ingin dikelonin atau memakan jatah ASI-nya. Pada titik ini, saya menangis tersedu. Betapa saya telah men-zhalimi anak dan istri dengan bekerja jauh di luar kota.
"tidak ada cara lain! dalam kondisi seperti itu, sang ayah harus bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin memenuhi program 1821 ini. Meski semua itu tidak sebanding dengan tiga jam setiap hari dalam seminggu" Ujar Abah Ichsan.
Saya terpukul dan air mata meleleh seperti tidak perlu diinstruksikan terlebih dahulu. Otomatis. Karena di sela menemani anakpun, saya masih sering update status. Membalas komentar. Atau bahkan sekadar membaca berita melalui smartphone. Dan Gilanya! Saya juga beberapa kali membuat posting panjang di aplikasi blogger.
Kakak sering meminta perhatian dengan merebut handphone agar ditemani makan. Ditemani main. Diajak bicara. Tapi saya sering marah tanpa alasan dengan "kakak... tidak boleh begitu!" dengan merebut kembali. Aduh nak! Maafkan Abah. Baru sekarang Abah menyadari, bahwa selama ini Abah salah.
Contoh tidak baik teman. Jangan ditiru.
Sehingga. Pekerjaan Rumah BESAR saya yang pertama tentu saja. Menyediakan waktu sebanyak dan sebaik mungkin untuk membersamai anak dan istri. Agar bisa membayar (meski masih terhutang banyak sekali) kewajiban saya sebagai seorang ayah. Tentu saja, mengajak anak ke masjid, mengajak jalan-jalan, menyuapinya makan, membuatkan makan saja itu tidak pernah cukup. Saya harus lebih banyak mengagendakan waktu main, waktu bicara, waktu mengajarkan Al Quran, waktu mengajarkan Islam kepada anak-anak dan istri dan waktu-waktu lain yang belum bisa saya bayar.
Semakin menangis saya. Saat Abah Ihsan meminta seluruh peserta untuk memandangi foto anaknya masing-masing. Ira yang saya gendong waktu itu saya peluk. "Bayangkan anak kita sedang panas (semoga tidak), panasnya terus naik. Hingga harus di opname dan disuntik serta di infus". Abah Ichsan mulai menyentuh hati kami para peserta. "lalu anak yang kita sayangi itu berkata: Bah... Tidak perlu khawatir sama kakak... Kakak tidak akan lagi merepotkan Abah dan Umi". Lalu beberapa jurus kemudian Abah Ichsan menggambarkan bagaimana kita kehilangan anak kita. Kita memeluk tubuhnya yang terbujur kaku. Memandikan dan memeluknya untuk terahir kali.
Semua peserta meledak tangis ketika itu. Saya, yang pernah menghadapi kondisi di mana anak pertama kami sakit panas dan berhari-hari opname di rumah sakit tahu benar kondisi seperti ini. Seolah lubuk hati ini ingin bicara kepada dunia, saya tidak ingin kehilangan anak ini. Ira yang saya gendong saya peluk erat sambil menahan tangis. Tapi saya tidak tahan. Air mata terus mengalir.
Sayapun tak kuasa menahan mata saya berkaca saat menuliskan ini. Karena tulisan ini dibuat saat saya berada jauh dari mereka. Anak-anak saya. Apa jadinya istri saya jika menghadapi kondisi seperti itu lagi? Saya pasti jadi orang tua yang benar-benar salah menempatkan diri jauh dari mereka.
Maka, betapa bodohnya saya saat bersama dengan anak dan istri masih tidak bisa melepaskan dunia maya. Tidak berhenti menonton televisi. Atau tidak berhenti merasa terganggu dengan anak yang ingin jatahnya diperhatikan terpenuhi.
Sudah barang tentu, waktu yang berkualitas itu tidak harus diumbar dengan status. Karena waktu berkualitas itu harus direncakan, diagendakan dan mengeliminir "penganggu-pengganggu" kenikmatan itu. Maka, jika sedang berasyik masyuk dengan facebook, twitter, blog, acara televisi favorit, membaca berita saat quality time. Tinggalkan itu. Walaupun tidak dilarang untuk mengakses semuanya pada waktu lain.
Jika kita menganggap anak lebih berharga daripada harta, mengapa kita harus marah saat anak membanting Iphone 6 kita agar mendapatkan perhatian? Mana yang lebih penting, update status atau update cerita nabi kepada anak kita? Mana yang lebih bermakna, membalas komentar teman facebook atau membalas canda tawa dan cerita anak kita? Silakan dijawab sendiri dalam hati.
Maka saya, mulai saat itu. Berupaya dengan sungguh-sungguh. Agar menyediakan waktu sebaik dan sebanyak mungkin untuk tumbuh kembang anak-anak dan keluarga. Program 1821 ini akan membimbing saya menjadi orang tua betulan. Meksi 3 jam setiap hari itu harus dibayar di waktu liburan dari tempat kerja sekali sepekan.
Bersambung, Baca berikutnya di sini.
Comments
Post a Comment