Sejak Januari 2016 ini, istri saya ngebet banget ikutan acara workshop bertema Parenting bersama Abah Ihsan. Sampai-sampai dia daftar early-bird. Jauh-jauh hari sebelum acara. Padahal, acaranya 9 dan 10 April tadi.
Workshop full 2 days yang mengambil tema "menjadi orang tua shalih" ini saya anggap hanya memanfaatkan impuls buying kepada calon peserta dengan mengiming-imingi biaya lebih murah sebelum hari-H. Saya yang terkesan masa bodoh dengan acara ini hanya bilang: "mi, itu cuma trik marketing. Supaya kita beli cepat...".
Tapi, sepuluh menit mengikuti acara itu saya benar-benar takjub. Ternyata acara ini selain full seat acaranya juga membuka lebar-lebar unsur WOW! di benak saya. Yap! Ini acara ternyata luar biasa. Teknik delivery Abah Ichsan ini benar-benar unik. Menggabung dan mencampur aduk emosi peserta. Mulai dari datar, menimbulkan gerr, menggelitik tawa, dan beberapa kali membuat beberapa peserta menitikkan air mata, termasuk saya. Bukan, bukan sekadar menitikkan mata. Tapi menangis sesenggukan.
Ya. Saya menangis beberapa kali di acara itu. Barangkali, frekwensi tangisan itu lebih tinggi daripada acara-acara motivasi. Dulu saya menangis berat saat training ESQ, tapi ini beda. Rasa-rasanya, saya tidak merasa kalau ingin menangis. Saat memeluk anak, memegang tangan istri. Ah, banyak sekali teman. Saya hampir malu untuk menceritakannya semuanya. Tapi, jika hal ini bisa dijadikan pelajaran. Saya tidak malu untuk dibilang: "Cengeng!"
Tidak! Teknik delivery tentang parenting ini tidak terjadi dengan simsalabim. Ihsan Baihaqi ibnu Bukhari sudah bertahun-tahun bicara mengenai parenting. Mendidik anak. Sejak dari buletin yang dibagikan mingguan, hingga menulisnya dalam buku, mengisi berbagai seminar dan training bertahun-tahun. Bumbu tawa dan tangis itu tak akan hadir begitu saja dengan tanpa hambatan.
Tentu saja, teknik delivery itu dibarengi dengan pengalaman bertahun-tahun menaklukkan enam anak (kalau saya tida khilaf) beliau dalam rumah bersama istrinya. Sehingga, pembahasan itu selain berbekal teori. Tapi juga berisi wejangan pengalaman berulang mendidik anak. Istilah motivasinya, walk the talk. Dan itu sungguh terasa, bukan sekadar teori kosong yang tidak bisa diterapkan dalam kehidupan nyata.
Setelah sepuluh menit itu, saya merasa menyesal kenapa terlambat datang ke acara ini karena perjalanan jauh dari Alabio. Biarpun menyesalan itu terbayar lunas saat mengikuti setiap sesi hingga berakhir menjelang maghrib di hari Ahad. Sehingga, selama dua hari itu menjadi sangat berharga bagi saya untuk kemudian bisa dibagikan dalam tulisan ini.
Tulisan ini bukan untuk mengajarkan, tapi untuk mencatat apa yang saya pelajari bersama istri dan peserta lain melalui Abah Ihsan. Karena kata Imam Syafi'i, ikatlah ilmu dengan pena. Lebih Gamblang, dengan mencatatnya. Saat tulisan ini dibuat, saya berencana untuk membuatnya beberapa seri. Karena ada setidanya enam poin yang menjadi Pekerjaan Rumah saya dan Istri agar menjadi orang tua betulan, bukan orang tua kebetulan.
Prolog acara sendiri kami dapatkan hingga lebih kurang dua jam. Kami diwajibkan untuk mematikan handphone saat acara berlangsung. Sehingga, wajar jika selama dua hari itu kami "menghilang" dari dunia untuk sesaat. Dalam sesi pembuka itu, kami dijelaskan agar sebaiknya tidak ujug-ujug menjadi orang tua. Melainkan seharusnya mengambil peran utuh sebagai orang tua yang kemudian tidak secara semena-mena menyalahkan dunia dan lingkungan sekitar sebagai biang keladi rusaknya generasi. Sebagai biang keladi broken home walaupun tiada perceraian.
Sederhananya, anak yang baik, shalih dan tangguh lahir dari rumah yang kokoh dinaungi oleh pendidikan dari kedua orang tua.
Hari pertama, Abah Ihsan membahas soal kebebasan yang diberikan kepada anak untuk bermain dan memiliki dunianya sebagai anak. Hari kedua, beliau menjabarkan bagaimana kebebasan itu dibarengi dengan ke-TEGA-san dengan menentukan standar dan batasan kepada anak-anak kita. Tegas yang tidak berarti keras, lembut yang tak bermakna lembek, dan marah yang tak melulu kasar.
Sehingga, saya sendiri merasa. Bahwa "paksaan" istri untuk ikut bersama dalam acara itu adalah wasilah terbaik untuk mendidik saya memuai proyek "Orang Tua Betulan" dari rumah kami.
Satu-satu kita bahas ya...
Silakan dilanjut di posting berikutnya di sini.
Tidak! Teknik delivery tentang parenting ini tidak terjadi dengan simsalabim. Ihsan Baihaqi ibnu Bukhari sudah bertahun-tahun bicara mengenai parenting. Mendidik anak. Sejak dari buletin yang dibagikan mingguan, hingga menulisnya dalam buku, mengisi berbagai seminar dan training bertahun-tahun. Bumbu tawa dan tangis itu tak akan hadir begitu saja dengan tanpa hambatan.
Tentu saja, teknik delivery itu dibarengi dengan pengalaman bertahun-tahun menaklukkan enam anak (kalau saya tida khilaf) beliau dalam rumah bersama istrinya. Sehingga, pembahasan itu selain berbekal teori. Tapi juga berisi wejangan pengalaman berulang mendidik anak. Istilah motivasinya, walk the talk. Dan itu sungguh terasa, bukan sekadar teori kosong yang tidak bisa diterapkan dalam kehidupan nyata.
Setelah sepuluh menit itu, saya merasa menyesal kenapa terlambat datang ke acara ini karena perjalanan jauh dari Alabio. Biarpun menyesalan itu terbayar lunas saat mengikuti setiap sesi hingga berakhir menjelang maghrib di hari Ahad. Sehingga, selama dua hari itu menjadi sangat berharga bagi saya untuk kemudian bisa dibagikan dalam tulisan ini.
Tulisan ini bukan untuk mengajarkan, tapi untuk mencatat apa yang saya pelajari bersama istri dan peserta lain melalui Abah Ihsan. Karena kata Imam Syafi'i, ikatlah ilmu dengan pena. Lebih Gamblang, dengan mencatatnya. Saat tulisan ini dibuat, saya berencana untuk membuatnya beberapa seri. Karena ada setidanya enam poin yang menjadi Pekerjaan Rumah saya dan Istri agar menjadi orang tua betulan, bukan orang tua kebetulan.
Prolog acara sendiri kami dapatkan hingga lebih kurang dua jam. Kami diwajibkan untuk mematikan handphone saat acara berlangsung. Sehingga, wajar jika selama dua hari itu kami "menghilang" dari dunia untuk sesaat. Dalam sesi pembuka itu, kami dijelaskan agar sebaiknya tidak ujug-ujug menjadi orang tua. Melainkan seharusnya mengambil peran utuh sebagai orang tua yang kemudian tidak secara semena-mena menyalahkan dunia dan lingkungan sekitar sebagai biang keladi rusaknya generasi. Sebagai biang keladi broken home walaupun tiada perceraian.
![]() |
Ayah dan Bunda adalah Peran |
Sederhananya, anak yang baik, shalih dan tangguh lahir dari rumah yang kokoh dinaungi oleh pendidikan dari kedua orang tua.
Hari pertama, Abah Ihsan membahas soal kebebasan yang diberikan kepada anak untuk bermain dan memiliki dunianya sebagai anak. Hari kedua, beliau menjabarkan bagaimana kebebasan itu dibarengi dengan ke-TEGA-san dengan menentukan standar dan batasan kepada anak-anak kita. Tegas yang tidak berarti keras, lembut yang tak bermakna lembek, dan marah yang tak melulu kasar.
Sehingga, saya sendiri merasa. Bahwa "paksaan" istri untuk ikut bersama dalam acara itu adalah wasilah terbaik untuk mendidik saya memuai proyek "Orang Tua Betulan" dari rumah kami.
Satu-satu kita bahas ya...
Silakan dilanjut di posting berikutnya di sini.
Quote: "... Ayah dan Ibu itu bukan status. Tapi peran..." Abah Ichsan
NB: Tepat sebelum post ini saya publish, lagu Sandy Sandoro berjudul Anak Jalanan seolah jadi nge-pas dengan tema ini. Hehe
Comments
Post a Comment