Saya merasa masih memiliki Pekerjaan Rumah yang belum diselesaikan. Membuat Ringkasan Materi Workshop "Menjadi Orang Tua Shaleh" yang digelar awal bulan april lalu di Tanjung bersama Abah Ihsan. Jangka waktunya cukup lama dari materi sebelumnya. Karena seperti yang sering terjadi pada kawan saya, saat menyampaikan materi tertentu secara spontan Allah langsung memberikan ujian atas kata-kata kita.
Selain karena memang sempat buyar beberapa saat, saya berupaya untuk memantaskan diri dan menerapkannya agar materi itu bisa walk the talk. Bisa diamalkan sebelum disampaikan kembali. Biarpun pada kenyataannya, semua yang saya sampaikan terus berjalan sesuai dengan prosesnya. Karena ini hanya resume materi workshop itu, saya berharap kita bisa sama-sama belajar dan meningkatkan kapasitas diri sebagai orang tua betulan. Bukan orang tua kebetulan.
Hari kedua workshop Abah Ihsan bertanya soal apa yang terjadi di Singapura saat orang Indonesia ada di sana. Apakah orang Indonesia masih berani buang sampah sembarangan, merokok tanpa kawalan atau sekadar menyerobot antrian. Ternyata, sepakat bahwa perilaku buruk itu tidak terjadi di negeri Singa. Sebenarnya, apa resep rahasia mereka? Yang membuat warganya begitu taat aturan.
Sebagian peserta berkicau dengan jawaban masing-masing. Ada yang bilang, karena kesadaran. Ada yang menyahut bahwa Singapura punya aturan yang ketat. Ada lagi yang berujar mereka punya aparat. Ada juga yang berkata, karena kontrol sosial yang ketat dan sarana prasarana mendukung.
Semua jawaban itu benar. Dan semuanya juga ada di Indonesia. Apakah Indonesia kekurangan orang sadar? Beberapa pelaku pelanggaran-pelanggaran aturan sederhana itu bahkan dengan sadar melakukannya. Apakah tidak ada aturan? Berapa banyak sih aturan yang sudah dibuat di negeri ini? Banyak sekali. Bahkan ada jargon yang menurut saya sudah salah sedari awal. "Peraturan dibuat untuk dilanggar"
Sarana? Owh! Jangan ditanya berapa banyak tempat sampah yang ada di pinggir jalan menua dan rusak tidak terpakai. Aparat? Aparat kita ada, tapi untuk aturan-aturan tertentu saja yang sifatnya umum seperti lalu lintas atau ketertiban umum.
Okelah jika kita beranggapan bahwa masyarakat Singapura adalah masyarakat yang sadar dengan aturan. Abah Ihsan mencontohkan ketika terjadi penilangan di Batam atau Malaysia ternyata yang ditilang karena kebut-kebutan di jalan adalah warga Singapura. Why? Di negera meraka mereka bisa taat, tapi di negara orang tidak bisa?
Letak Perbedaan yang sangat mendasar ternyata ada pada KETEGASAN. Semua aturan di Singapuran diterapkan dengan prinsip ini. Tidak ada kongkalikong, perasaan tidak enak dan segala tetek bengek yang menghambat diterapkannya sebuah aturan secara sempurna. Orang akan benar-benar ditangkap dan didenda jika membuang sampah sembarangan. Mereka yang melanggar aturan lalu lintas selain dapat tilang, juga dapat kehilangan SIM mereka.
Nah. Poin ini pulalah yang menjadi titik berat dalam mendidik anak. Menjadikan anak-anak kita sebagai anak yang shalih dengan terlebih dahulu menjadikan diri kita sebagai orang tua shalih. Setelah sebelumnya kita bicara soal memberikan kebebasan di hari pertama workshop. Jika anak dipersilakan untuk bebas bermain di luar dengan teman-temannya, ketegasan ini adalah dalam hal memberikan batasan dan standar yang jelas kepada anak-anak kita. Kapan waktunya harus pulang ke rumah.
Boleh dibaca lagi: Menjadi Orang Tua Shalih, Memberi Kebebasan
Dalam bahasa Abah Ihsan, ketegasan diberi caps lock pada kata tega. Jadinya keTEGAsan. Artinya, orang tua harus tega jika memang anaknya merengek-rengek agar semua keinginannya dipenuhi padahal sudah melewati batasan yang sudah disepakati dalam keluarga itu.
Abah Ihsan juga menjelaskan, bahwa Tegas di sini berbeda sekali dengan marah. Apalagi memukul. Tegas itu adalah perkara sikap yang menunjukkan bahwa orang tua bukan keras kepala, tapi konsisten terhadap aturan. Jika anak hanya diberi kebebasan dan semua keinginannya dipenuhi, maka sikap kita yang tidak tega-an akan terasa efeknya nanti di masa yang akan datang.
Ada anak yang kata Abah Ihsan, berdasarkan konsultasi beberapa peserta workshop-nya sampai berani dengan orang tuanya. Bahkan di beberapa kejadian, ada yang sudah dalam tataran ancaman saat tidak terpenuhi keinginannya untuk membeli ini dan itu.
Tantangan besarnya, anak-anak biasanya (dalam usia balita) memiliki hukum sendiri yang dinamakan Hukum Kekekalan Ikhtiar. Ini menarik. Karena setiap kita tegas terhadap sebuah perkara, mereka akan selalu bertindak kreatif mencari cara bagaimana agar orang tuanya bisa memenuhi. Entah dengan merayu, menangis, bahkan berguling-guling.
Dan tentu, saat kita ingin bertindak memberikan ketegasan kepada anak. Kita sebagai orang tua harus belajar dulu untuk tegas terhadap diri sendiri. Ingat dengan Program 1821? Jika kita masih belum bisa berada di program itu dengan tidak melakukan posting, tidak zikir whatsapp, membalas komentar, ngeblog bahkan bermain game (ada lho orang tua yang masih hobi bermain game di tablet). Mungkin akan sulit bagi kita bisa bertindak tegas kepada anak. Kalau kepada diri sendiri saja kita belum mampu.
Sebagai Pengingat: Menjadi Orang Tua Shalih, Program 1821 Kumpul Keluarga
Selanjutnya, insya Allah akan saya ceritakan lagi di waktu yang lain. Dalam episode yang sama. Menjadi orang Tua Shalih
Comments
Post a Comment