Sore ini sudah punya janji dengan seorang nasabah. Untuk mengantar Perjanjian Jual Beli ke rumahnya di bilangan Lingkar Selatan, Liang Anggang. Namun, sepertinya harus ngaret hingga menjelang pukul enam sore. Padahal janjinya selepas shalat ashar.
Entah mengapa hari ini mata serasa berat sekali. Usai makan siang dengan "ampalam" dan kacang dan lauk Nila. Shalat ashar berjamaah lalu sembari santai melihat-lihat berita di facebook friend request akun usaha yang baru saya buat siang tadi. Gila bener, baru bikin aja permintaanya sudah 40-an. Memang dahsyat lah ni ilmu yang diberi Daeng Faqih. Tak lama kemudian buka browser, ke youtube dan tiba-tiba bangun sudah jam 5.
Waduh! Aku ditidurkan kotak selebar 4 inchi yang tergenggam lalu tergeletak di telapak tangan. Mungkin nyanyian dari layar itu yang menidurkan. Biasanya sulit sekali kalau sudah tengah malam, berselancar bisa lupa waktu hingga subuh datang.
Sejurus kemudian saya langsung mempersiapkan diri memenuhi janji. Tidak mengapalah pikir saya, karena masih ba'da ashar juga ini. Belum maghrib.
Kendaraan dipacu dengan kecepatan sedang sambil mengingat-ingat posisi rumahnya ada di sebelah mana. Sampai? Tidak. Aku kelewatan. Efek kantuk mungkin.
Terlihat Iwan, nasabah yang membeli kavling DGreenLand itu melayani pelanggan. Beberapa barang sepertinya sudah dimasukkan ke rumah dari kios yang sengaja diletakkan persis di samping jalan. Aha! Beruntung aku masih ingat dengan rumah ini. Seandainya dia tidak cerita soal bagaimana dulu akhirnya memutuskan untuk membeli kios gerobak kecil di RO Ulin, mungkin bablasnya aku bisa lebih jauh lagi.
Lidah memang sedikit keseleo kalau menyebut namanya. Sejatinya, di KTP Iwan ini namanya seperti pasangan Acha Septriasa saat menyanyikan lagu "Heart". Irwansyah. Dipangil Irwan. Ya Karena keseleo tadi, hadirlah kata Iwan untuk menyebutnya.
Saya sebenarnya tidak habis pikir dengan pemuda ini. Umurnya baru sekira tiga puluhan, seperti yang dijelaskan di KTP. Usahanya hanya berjualan pulsa (dan kuota), rokok, minuman dingin, bensin dan solar di pinggir jalan. Tapi dari cerita yang pernah kudengar, dia sudah membeli rumah di salah satu pinggiran kota di Banjarbaru. Di mana persisnya aku lupa, namun jika ditambah dengan aset berupa sekavling tanah yang sudah dia beli sebelumnya dan kavling terbaru ini. Jelas beliau ini begitu mengherankan banyak orang karena berprofesi hanya sebagai pedagang minyak di pinggir jalan.
Aku sendiri heran. Di kantor kami saja, orang yang berdasi dan bekerja di kantor saja ada yang menunggak beberapa bulan pada pembelian tanah kavling yang hanya 200 ribuan saja cicilannnya. Tapi tidak dengan dia. Bayar kavling di tempat kami lancar hingga membeli lagi. Tidak terkejut juga saat terakhir membayar DP dia mengajukan uang senilai 25 juta rupiah beberapa waktu lalu.
Coba saja kita hitung secara kasar penghasilannya. Jika dia mampu membeli rumah secara kredit dengan angsuran 1,5 juta sebulan. Minimal penghasilan bulannya kan 4,5 juta. Lalu membayar kredit tanah ke kami 1,8 juta. Dan dia ikut arisan bulanan yang perkali tarik itu dalam kisaran 1-2 juta. Kira-kira penghasilannya dari berjualan minyak, pulsa, minuman dingin dan rokok itu berapa? Entahlah. Saya tidak berani bertanya. Pun saat mengisi formulir pendaftaran dulu saya tidak menengok berapa penghasilannya karena waktu itu hanya ada isian > 2,5 juta.
Setidak-tidaknya 6-8 juta dia kantongi setiap bulannya dari usaha sederhana ini.
Saya bertanya soal kios gerobak yang dibelinya ramadhan tahun ini. Harganya 1,8 juta. Katanya sudah balik modal.
"wan, berapa bulan ini balik modalnya?"
Sambil nyengir kuda dia menjawab: "kada tahu jua, intinya balik modal" (tiak tahu juga intinya balik modal, terj)
Ini orang tidak mengerti bisnis sebagaimana yang diajarkan pebisnis "sukses" soal hitung-hitungan laporan keuangan, hitungan marjin dan beragam hitungan njlimet lain saat menjalankan usaha. Tapi ada hasilnya.
Hitungannya sederhana saja. Ada uang hasil jualan, sebagian untuk biaya hidup, sebagian untuk bayar arisan, sebagian lagi untuk bayar cicilan. Dapat arisan, jadikan DP untuk membeli rumah atau tanah. Atau tidak membeli motor.
Eh gak ding. Beli motor dia kayaknya cuma dua kali. Motor untuk dia, dan untuk istrinya. Motor yang dia pakai adalah motor suprax keluaran beberapa tahun lalu. Sudah terlihat tua karena jadi kendaraan "perjuangan". Ya tahu sendirilah bagaimana rupanya jika sudah bicara kendaraan "perjuangan".
Sebenarnya pembelian kavling terakhir ini adalah pembelian tertunda. Karena, saat ingin membeli gerobak kios Ramadhan tahun ini. Iwan sudah mengancang-ancang untuk membeli tanah dengan menyerahkan tanda jadi untuk tanah di samping tanah yang sudah dibeli lunas olehnya. Namun naas baginya saat itu. Istrinya sakit dan herus menjalani perawatan. Sakit akibat kecelakaan saat melakukan perawatan di sebuah salon. Kabarnya, salon menggunakan alat yang baru datang. Namun insiden itu tetap terjadi.
Tidak berpanjang lebar aku di situ. Karena hari sudah mulai berubah jingga. Terangnya sudah beda. Aku ulurkan tangan untuk bersalaman, Iwan hanya menyerahkan pergelangan saja. Karena kataya tangannya kotor. Iya, walau tidak mengapa bagiku. Tapi Iwan tau bekas oli dan minyak itu membuat keadaan tidak nyaman.
Setidaknya. Sosok sederhana ini talah memukul mukaku. Bahwa tidak selamanya harus bersih-bersih kalau bekerja. Jika hanya untuk mendapatkan uang saja, apapun bisa dikerjakan. Asal halal.
Pulang aku memacu kendaraan. Kali ini mencoba jalan pintas. Menurut dugaan, jalan pintas ini akan melewati puskesmas Liang Anggang. Dan benar, tidak hanya puskesmas, tapi juga kantor kelurahan. Baru tahu. Aha!
Ada decit berbunyi di antara kampas rem dan cakram. Juga as ban depan. Nampaknya motor ini masih terkena efek tabrakan beberapa waktu lalu, sehingga perlu penanganan tambahan lagi setelah diperbaiki.
Awan di kejauhan sudah berbentuk seperti jeruk mandarin yang sedang masak. Oranye. Jingga kata anakku. Sanja Kuning kata orang di kampung. Sementara dari toa masjid dan surau saling bersahutan ayat-ayat suci dan wirid dari almarhum Guru Bakeri. Sudah waktunya pulang. Dan decitan itu tidak terlalu terdengar lagi di angka kecepatan 85 km/jam.
Setibanya di daerah guntung payung, singgah dulu di masjid. Setelah wudhu iqomah berkumandang. Seusainya shalat dan sampai di basecamp, kutulis cerita ini. Cerita yang sedari tadi berkelebat dalam pikiran. Yang ingin kubuat seperti prosa atau bait-bait dalam novel tapi urung kulakukan. Karena petikan hurufnya kubiarkan mengalir begitu saja.
Ah Iwan. Kamu memang menginspirasi kawan. Beruntung memilikimu. Sehingga akhirnya hari ini aku bisa bikin tulisan untuk blog yang sedang sering aku tinggalkan.
![]() |
Quote by @embundakwah |
Comments
Post a Comment