Ada lagu yang di era 90-an dari Oppie Andaresta. Lirik refferen nya berisi khayalan "Andai aku jadi orang kaya"
Dan beberapa pengandaian lain yang seolah menggambarkan soal mimpi anak-anak muda saat itu.
Kata "andai" sendiri sepertinya sebagai bentuk apologi dan penyesalan terhadap kondisi yang di hadapi saat ini. Karena itu, sambungan kalimat setelahnya ada kondisi yang ingin dia miliki terwujud. pengen traktir lah, pengen liburan lah dan segala macam keinginan lain. Jikapun sama dengan cita-cita, ternyata orientasinya -meminjam Istilah KUBIK Leadership- to have. Bukan to be.
Ini berbeda sekali dengan jawaban atas cita-cita di waktu kecil yang berorientasi pada to be. Kita jawabnya Khan "ingin jadi dokter", "ingin jadi tentara", bahkan "ingin jadi presiden". Barangkali karena memang saat kita kecil, kita tidak diajarkan untuk bernafsu dengan segala macam materil.
Nyatanya memang. Televisi yang saat itu (bahkan hingga kini) mengajarkan para remaja yang sudah memiliki televisi dan hidup di perkotaan untuk mengejar materi. Dalam sinetron dipertontonkan perebutan harta warisan, mobil dan rumah mewah dan segala bentuk pencapaian harta dan jabatan.
Lagu ini. Mungkin hanya efek. Atau bahkan bagian dari sebab. Atau hanya mengambarkan kondisi riil di lapangan. Yang mau tidak mau, suka tidak suka menjadi salah satu pemicu tingginya urbanisasi di berbagai daerah. Dengan pergi ke kota, pulang bisa kaya.
Padahal. Jika kita kembali kepada cita-cita kita. Kita tinggal menambah satu frasa sederhana agar bisa to have tersebut mengiringi to be kita. Misalnya, "ingin jadi dokter Gigi terbaik di Banjarmasin", "ingin jadi tentara yang berprestasi", "ingin jadi pengusaha nomor 1 di Kalimatan". Agar memang, cita-cita/ to be itu lebih terukur dibandingkan hanya menginginkan kita jadi sesuatu.
Mengejar to have, diakui atau tidak membuat kita seolah-olah menjadi greedy. Tamak. Bahkan rela untuk menghalalkan segala cara agar to have itu bisa didapatkan. Sebagai contoh, ingin punya mobil. Kalau belum punya uang dan belum buruh-buruh amat, kenapa kita harus kredit yang jelas-jelas membebani diri kita? Bebannya dunia akherat. Cicilan belum lunas, kita sudah meninggal. Tidak terbayar oleh keluarga, diri kita nyangkut di akherat soal perkara utang piutang. Belum lagi kalau ternyata kreditnya Ribawi. Ahh, ampun deh. Padahal, kalau naik angkot atau pakai sepeda motor saja kita sudah bisa ke sana kemari.
Dan parahnya. Di masyarakat kita. Seolah-olah memiliki segalanya adalah ukuran kesuksesan seseorang. Semakin banyak punya mobil dan rumah, semakin terlihat sukses. Dan itu membuat kita merasa bangga dan bahagia. Paling-paling bahagianya saat dapat pujian. Setelah itu, deritanya kitalah yang menanggung (bayar angsuran).
Memang kalau dalam training motivasi (kayak sering kita temui di banyak tempat), mimpi memiliki materi tertentu menjadi trigger dan strong why kita untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik. Jika telah tercapai, tingkatan to have yang kita miliki akan bertambah. Dimotivasi punya mobil, kerja keras, dapat. Dimotivasi punya kapal pesiar, kerja keras, dapat. Lalu dimotivasi lagi punya properti di mana-mana, kerja keras, dapat.
Lalu, setelah punya semuanya kita mau apa? Hilang kah akhirnya motivasi itu? Bagaimana hubungan kita dengan orang lain? Bagaimana keluarga?
Atau, kalau nyari materi terus, kapan menikah?
***
Bersambung
Dan beberapa pengandaian lain yang seolah menggambarkan soal mimpi anak-anak muda saat itu.
Kata "andai" sendiri sepertinya sebagai bentuk apologi dan penyesalan terhadap kondisi yang di hadapi saat ini. Karena itu, sambungan kalimat setelahnya ada kondisi yang ingin dia miliki terwujud. pengen traktir lah, pengen liburan lah dan segala macam keinginan lain. Jikapun sama dengan cita-cita, ternyata orientasinya -meminjam Istilah KUBIK Leadership- to have. Bukan to be.
Ini berbeda sekali dengan jawaban atas cita-cita di waktu kecil yang berorientasi pada to be. Kita jawabnya Khan "ingin jadi dokter", "ingin jadi tentara", bahkan "ingin jadi presiden". Barangkali karena memang saat kita kecil, kita tidak diajarkan untuk bernafsu dengan segala macam materil.
Nyatanya memang. Televisi yang saat itu (bahkan hingga kini) mengajarkan para remaja yang sudah memiliki televisi dan hidup di perkotaan untuk mengejar materi. Dalam sinetron dipertontonkan perebutan harta warisan, mobil dan rumah mewah dan segala bentuk pencapaian harta dan jabatan.
Lagu ini. Mungkin hanya efek. Atau bahkan bagian dari sebab. Atau hanya mengambarkan kondisi riil di lapangan. Yang mau tidak mau, suka tidak suka menjadi salah satu pemicu tingginya urbanisasi di berbagai daerah. Dengan pergi ke kota, pulang bisa kaya.
Padahal. Jika kita kembali kepada cita-cita kita. Kita tinggal menambah satu frasa sederhana agar bisa to have tersebut mengiringi to be kita. Misalnya, "ingin jadi dokter Gigi terbaik di Banjarmasin", "ingin jadi tentara yang berprestasi", "ingin jadi pengusaha nomor 1 di Kalimatan". Agar memang, cita-cita/ to be itu lebih terukur dibandingkan hanya menginginkan kita jadi sesuatu.
Mengejar to have, diakui atau tidak membuat kita seolah-olah menjadi greedy. Tamak. Bahkan rela untuk menghalalkan segala cara agar to have itu bisa didapatkan. Sebagai contoh, ingin punya mobil. Kalau belum punya uang dan belum buruh-buruh amat, kenapa kita harus kredit yang jelas-jelas membebani diri kita? Bebannya dunia akherat. Cicilan belum lunas, kita sudah meninggal. Tidak terbayar oleh keluarga, diri kita nyangkut di akherat soal perkara utang piutang. Belum lagi kalau ternyata kreditnya Ribawi. Ahh, ampun deh. Padahal, kalau naik angkot atau pakai sepeda motor saja kita sudah bisa ke sana kemari.
Dan parahnya. Di masyarakat kita. Seolah-olah memiliki segalanya adalah ukuran kesuksesan seseorang. Semakin banyak punya mobil dan rumah, semakin terlihat sukses. Dan itu membuat kita merasa bangga dan bahagia. Paling-paling bahagianya saat dapat pujian. Setelah itu, deritanya kitalah yang menanggung (bayar angsuran).
Memang kalau dalam training motivasi (kayak sering kita temui di banyak tempat), mimpi memiliki materi tertentu menjadi trigger dan strong why kita untuk berbuat lebih banyak dan lebih baik. Jika telah tercapai, tingkatan to have yang kita miliki akan bertambah. Dimotivasi punya mobil, kerja keras, dapat. Dimotivasi punya kapal pesiar, kerja keras, dapat. Lalu dimotivasi lagi punya properti di mana-mana, kerja keras, dapat.
Lalu, setelah punya semuanya kita mau apa? Hilang kah akhirnya motivasi itu? Bagaimana hubungan kita dengan orang lain? Bagaimana keluarga?
Atau, kalau nyari materi terus, kapan menikah?
***
Bersambung
Comments
Post a Comment