Coba perhatikan,
Berapa lama sebuah topik menjadi tren di sebuah media sosial atau lebih umum lagi, tren di dalam sebuah komunitas bernama masyarakat?
Setahun? Enam bulan? Empat bulan? Sebulan? Atau bahkan seminggu?
Sekarang timeline kita tidak lagi penuh dengan tema: "om telolet om" tapi soal "keNAIKan harga produk dan jasa" setelah sebelumnya diselingi dengan "bom panci"dan "alat bukti timbangan". Atau yang lumayan lama, soal aksi damai, pengadilan penistaan agama dan lain sebagainya.
Semua itu nyaris tidak mewarnai timeline dan pembicaraan kita setahun penuh. Bahkan, ada tren yang hanya bertahan selama satu Minggu. Setelah itu, kita lupa atau terlupakan dengan isu, tren apatah topik terbaru.
Saya sendiri secara pribadi jadi penasaran. Ada apa dengan topik ini? Koq bisa hits? Sehingga kadang ikutan nyentil juga dalam bentuk status. Walau pada kenyataannya, saya seperti terbawa sebuah arus deras yang berakhir singkat dan kembali dibawa oleh arus yang lain. Seperti soal fitsa hats atau yang baru-baru ini soal kenaikan.
Dulu ada istilah "panas-panas tahi ayam" untuk menyebut sebuah semangat yang berlebihan di awal yang pada periode waktu tertentu semangatnya hilang dengan sendirinya. Begitu pulalah kira-kira yang terjadi di masyarakat kita menyikapi sebuah tren, topik dan perbincangan tertentu. Panas sebentar, kemudian berlalu begitu saja. Terkecuali bagi orang-orang yang berpikir mendalam yang melihat sebuah fenomena dihubungkan dengan fenomena lain lalu ditarik sebagai sebuah kesimpulan. Pengamat politik misalnya.
Beberapa tahun yang lalu, masih ingat saya. Ada beberapa orang kawan yang diberikan tugas untuk "mengkliping" beberapa berita politik lokal dalam sebuah direktori bernama Tumblr. Disimpan beberapa berita yang berupa fakta, yang relevan, komentar tokoh yang secara spesifik berhubungan. Data-data yang dikliping tersebut ternyata amat berguna untuk pemberi tugas untuk menganalisa dan mengambil kesimpulan ke arah mana kecenderungan politik saat ini sedang melaju. Kecenderungan yang bahkan tidak terbaca secara kasat mata melalui sebuah media (cetak, sosial maupun elektronik).
Tadi malam bahkan, Irfan Albanjarie menunjukkan pada saya sebuah harga atas analisis tertentu yang jumlah halamannya di atas seratus dihargai dengan angka 6 juta. Harga itu tentu sepadan dengan keputusan jitu yang bisa dilahirkan pembeli pengunduh data. "Kita bikin yang begini kah" ujar Irfan. Hehehe, saya hanya nyengir kuda.
Kembali soal tren sesaat.
Ternyata juga terjadi dalam dunia bisnis. Saya masih ingat, bagaimana teh poci begitu populer di beberapa daerah sekitar 6 bulan. Lalu trennya berganti jadi capuccino cincau, coklat kekinian, dan apalagi? Trennya terus berganti mengingat kejenuhan temporal yang terjadi di masyarakat kita. Jenuh, muncul lagi yang baru. Jenuh, muncul lagi. Jika ingat dengan tela-tela sebelum tahun 2010, anda pasti setuju dengan saya.
Sebuah kondisi yang memungkinkan untuk meraup untung di saat trennya, lalu berganti baju bisnis ketika digantikan oleh tren yang lain. Seperti "bisnis" moneygame yang hanya berganti baju dan silih bergilir menjadi tren.
Bagi pebisnis pemula yang masih labil. Mereka akan dengan mudah terpengaruh untuk membuka bisnis serupa di saat tren berada di puncak menuju penurunannya. Efeknya, bisa sajaembuat mereka "belajar bangkrut".
Bisnisnya sesaat. Tidak everlasting. Alias: Panas-panas tahi ayam
*Bersambung*
Comments
Post a Comment