Pernahkah kita. Siapapun itu. Baik yang menulis atau yang sedang membaca coretan ini. Pernah merasa saat sakit berhari-hari, namun tidak kunjung sembuh juga. Lalu dengan gampangnya kita menyatakan bahwa "demikian beratkah ujian dari Tuhan?"
Saya sendiri. Pernah lebih dari seminggu terserang demam typus. Disebabkan buruknya pola makan, minum dan istirahat sewaktu mahasiswa dahulu. Ditambah kesibukan sebagai ketua panitia acara dakwah di Kalimantan Selatan. Saya yang ketika itu terbaring sendirian di kamar, seolah tidak dipedulikan oleh kawan-kawan satu kost yang sebagain besar pula adalah aktivis lembaga dakwah kampus. Di beberapa hari menjelang kesembuhan, saya seolah mengutuk diri dan merasa waktu yang saya miliki hidup di dunia ini tidaklah lama lagi.
Lalu dengan kemarahan membuncah, saya kecewa dengan rekan-rekan yang tidak juga menjenguk. Saya berpikir, andai saja saya mati saat ini, mungkin mereka akan tahu setelah bau busuk mayat tercium dari satu sudut kamar.
Beruntung. Saat itu, seorang kawan --saat saya menulis cerita ini, yang bersangkutan telah berpulang empat tahun yang lalu-- mengetuk pintu dan menjenguk saya. Ketukan itu tidak akan saya lupakan. Ditambah lagi, dia berikan perhatian dengan memberikan saya madu untuk menambah stamina dan makanan untuk memulihkan kondisi saya yang panas nge-drop.
Rasanya ketika itu. Saya adalah orang paling menderita di dunia.
Hari ini. Saya kembali diingatkan dengan kisah itu, membanding dengan kisah Nabi Ayyub yang disampaikan Ustadz Haji Sulikan, dalam khutbah Jum'at di masjid Hajah Nuriyah Banjarbaru. Materi yang beliau sampaikan benar adanya. Jika saja saya kehilangan motivasi dan harapan kepada Allah, mungkin saja saya telah bergelar almarhum.
Nabi Ayub. Mungkin ceritanya tidak semahsyur cerita Ulil Azmi yang terlalu banyak ceritanya disamoaikan di berbagai podium dan artikel. Saya pernah dapat ceritanya sepintas. Namun yang disampaikan Ustadz Sulikan ini menambahkan arti yang selama ini belum saya dapatkan.
Ada riwayat yang menyebut bahwa sakitnya 18 tahun. 16 tahun, atau 12 tahun. Tapi intinya, sakit kulit yang berada di sekujur tubuh nabi Ayyub (konon kabarnya penyakit lepra) berlangsung lama. Lalu satu persatu orang terdekat dan tetangganya menjauhi dan memboikot beliau. Kecuali dua orang saja yang secara rutin mengunjungi.
Bisa dibayangkan. Dalam posisi seperti ini, sakit berkepanjangan tapi hampir setiap orang tidak peduli bahkan menjauh. Sakitnya itu, ada di hati. Deritanya bukan sekadar fisik, tapi psikis juga. Namun, kata ustadz Sulikan, Nabi Ayyub malah berkata lain dalam kondisi seperti ini. Dirinya teguh untuk terus berharap kepada Allah. Optimis serta husnuzhan dengan keputusan Allah.
Sampai pada satu waktu, Allah menurunkan Wahyu yang menyeru beliau Agar menghempaskan kaki ke tanah. Serta Merta keluarlah air yang bisa digunakan untuk mandi dan sebagai minuman.
Sekonyong-konyong, kemudian sakit beliau musnah dan kondisi fisiknya justru jadi jauh lebih baik dibandingkan sebelum beliau sakit.
Apakah derita kita jauh lebih berat dari beliau? Sampai-sampai begitu marahnya kita kepada Tuhan? Padahal Dia memberikan ujian kepada hamba, pastilah sudah diukur dengan kemampuan untuk menyelesaikannya. Atau, memang barangkali hati kitalah yang telah lebih dahulu berprasangka negatif kepada Allah.
Padahal, Allah pernah bilang dalam hadits Qudsi, "Aku sesuai persangkaan hambaKu".
Teringat lah kita kemudian pada kisah seorang Arab Badui yang dijenguk dan didoakan sakitnya oleh nabi. "Tidak apa-apa, Allah mengurangi dosa dari sakitmu".
Lantas, jawaban si Badui seolah menafikan Rahmah Allah. Meragukan harapan kesembuhan. Sehingga dia bersangka, lebih baik mati saja.
Tidak berapa lama, persangkaan si Badui benar-benar terjadi.
***
Duhai diri. Tidakkah kita malu?
Kita merasa orang termiskin. Tapi pernahkah hidup kita semiskin Isa bin Maryam?
Kita berbangga dengan kekayaan serta pangkat dan kedudukan. Tapi patutlah kita bangga jika membandingkan dengan Sulaiman bin Dawud?
Kita gampang bermaksiat, karena wajah kita rupawan. Namun tidakkah kita ingat cerita Yusuf bin Ya'qub?
Kita merasa perih hidup tak memiliki putra, namun lebih perih manakah jika dibanding lamanya Ibrahim memiliki Ishaq dan Isma'il?
Lupakan kita dengan ribuan puji dan kemuliaan yang dialamatkan ke wajah kita? Sementara Muhammad bin Abdullah pujiannya langsung dari langit.
Sebagian akan mengatakan: "mas Hendra tidak adil! Masa membandingkan manusia biasa dengan nabi?"
Memang benar. Ada perbedaan antara manusia dengan nabi. Walau pada dasarnya tetap nabi juga manusia biasa. "Basyaarun mitslukum..." Manusia sebagaimana kalian (kita, maksudnya). Sehingga, setidaknya. Mereka itu jadi prototype, uswah untuk kita contoh akhlak, pilihan sikap dan ketaatannya kepada Allah.
Dan yang perlu diingat. Ujian setiap orang sudah ditentukan olehNya dalam batas kewajaran dan kemampuan manusia.
Kita tidak diuji menghadapi Fir'aun yang mengaku Tuhan dengan membelah lautan. Sebagaimana tugas (misi) yang diberikan Allah kepada Musa.
Kita tidak menghadapi api yang kemudian didinginkan oleh Allah, karena kadar (valensi) diri kita tidak sekaliber Ibrahim.
Kita diuji. Karena Allah tahu, kita sanggup menghadapinya.
***
Banjarbaru, 10 Februari 2017
Saudaramu,
Hendra Abutsman
Founder & Trainer #SolusiLangit
Saya sendiri. Pernah lebih dari seminggu terserang demam typus. Disebabkan buruknya pola makan, minum dan istirahat sewaktu mahasiswa dahulu. Ditambah kesibukan sebagai ketua panitia acara dakwah di Kalimantan Selatan. Saya yang ketika itu terbaring sendirian di kamar, seolah tidak dipedulikan oleh kawan-kawan satu kost yang sebagain besar pula adalah aktivis lembaga dakwah kampus. Di beberapa hari menjelang kesembuhan, saya seolah mengutuk diri dan merasa waktu yang saya miliki hidup di dunia ini tidaklah lama lagi.
Lalu dengan kemarahan membuncah, saya kecewa dengan rekan-rekan yang tidak juga menjenguk. Saya berpikir, andai saja saya mati saat ini, mungkin mereka akan tahu setelah bau busuk mayat tercium dari satu sudut kamar.
Beruntung. Saat itu, seorang kawan --saat saya menulis cerita ini, yang bersangkutan telah berpulang empat tahun yang lalu-- mengetuk pintu dan menjenguk saya. Ketukan itu tidak akan saya lupakan. Ditambah lagi, dia berikan perhatian dengan memberikan saya madu untuk menambah stamina dan makanan untuk memulihkan kondisi saya yang panas nge-drop.
Rasanya ketika itu. Saya adalah orang paling menderita di dunia.
Hari ini. Saya kembali diingatkan dengan kisah itu, membanding dengan kisah Nabi Ayyub yang disampaikan Ustadz Haji Sulikan, dalam khutbah Jum'at di masjid Hajah Nuriyah Banjarbaru. Materi yang beliau sampaikan benar adanya. Jika saja saya kehilangan motivasi dan harapan kepada Allah, mungkin saja saya telah bergelar almarhum.
Nabi Ayub. Mungkin ceritanya tidak semahsyur cerita Ulil Azmi yang terlalu banyak ceritanya disamoaikan di berbagai podium dan artikel. Saya pernah dapat ceritanya sepintas. Namun yang disampaikan Ustadz Sulikan ini menambahkan arti yang selama ini belum saya dapatkan.
Ada riwayat yang menyebut bahwa sakitnya 18 tahun. 16 tahun, atau 12 tahun. Tapi intinya, sakit kulit yang berada di sekujur tubuh nabi Ayyub (konon kabarnya penyakit lepra) berlangsung lama. Lalu satu persatu orang terdekat dan tetangganya menjauhi dan memboikot beliau. Kecuali dua orang saja yang secara rutin mengunjungi.
Bisa dibayangkan. Dalam posisi seperti ini, sakit berkepanjangan tapi hampir setiap orang tidak peduli bahkan menjauh. Sakitnya itu, ada di hati. Deritanya bukan sekadar fisik, tapi psikis juga. Namun, kata ustadz Sulikan, Nabi Ayyub malah berkata lain dalam kondisi seperti ini. Dirinya teguh untuk terus berharap kepada Allah. Optimis serta husnuzhan dengan keputusan Allah.
Sampai pada satu waktu, Allah menurunkan Wahyu yang menyeru beliau Agar menghempaskan kaki ke tanah. Serta Merta keluarlah air yang bisa digunakan untuk mandi dan sebagai minuman.
Sekonyong-konyong, kemudian sakit beliau musnah dan kondisi fisiknya justru jadi jauh lebih baik dibandingkan sebelum beliau sakit.
Apakah derita kita jauh lebih berat dari beliau? Sampai-sampai begitu marahnya kita kepada Tuhan? Padahal Dia memberikan ujian kepada hamba, pastilah sudah diukur dengan kemampuan untuk menyelesaikannya. Atau, memang barangkali hati kitalah yang telah lebih dahulu berprasangka negatif kepada Allah.
Padahal, Allah pernah bilang dalam hadits Qudsi, "Aku sesuai persangkaan hambaKu".
Teringat lah kita kemudian pada kisah seorang Arab Badui yang dijenguk dan didoakan sakitnya oleh nabi. "Tidak apa-apa, Allah mengurangi dosa dari sakitmu".
Lantas, jawaban si Badui seolah menafikan Rahmah Allah. Meragukan harapan kesembuhan. Sehingga dia bersangka, lebih baik mati saja.
Tidak berapa lama, persangkaan si Badui benar-benar terjadi.
***
Duhai diri. Tidakkah kita malu?
Kita merasa orang termiskin. Tapi pernahkah hidup kita semiskin Isa bin Maryam?
Kita berbangga dengan kekayaan serta pangkat dan kedudukan. Tapi patutlah kita bangga jika membandingkan dengan Sulaiman bin Dawud?
Kita gampang bermaksiat, karena wajah kita rupawan. Namun tidakkah kita ingat cerita Yusuf bin Ya'qub?
Kita merasa perih hidup tak memiliki putra, namun lebih perih manakah jika dibanding lamanya Ibrahim memiliki Ishaq dan Isma'il?
Lupakan kita dengan ribuan puji dan kemuliaan yang dialamatkan ke wajah kita? Sementara Muhammad bin Abdullah pujiannya langsung dari langit.
Sebagian akan mengatakan: "mas Hendra tidak adil! Masa membandingkan manusia biasa dengan nabi?"
Memang benar. Ada perbedaan antara manusia dengan nabi. Walau pada dasarnya tetap nabi juga manusia biasa. "Basyaarun mitslukum..." Manusia sebagaimana kalian (kita, maksudnya). Sehingga, setidaknya. Mereka itu jadi prototype, uswah untuk kita contoh akhlak, pilihan sikap dan ketaatannya kepada Allah.
Dan yang perlu diingat. Ujian setiap orang sudah ditentukan olehNya dalam batas kewajaran dan kemampuan manusia.
Kita tidak diuji menghadapi Fir'aun yang mengaku Tuhan dengan membelah lautan. Sebagaimana tugas (misi) yang diberikan Allah kepada Musa.
Kita tidak menghadapi api yang kemudian didinginkan oleh Allah, karena kadar (valensi) diri kita tidak sekaliber Ibrahim.
Kita diuji. Karena Allah tahu, kita sanggup menghadapinya.
***
Banjarbaru, 10 Februari 2017
Saudaramu,
Hendra Abutsman
Founder & Trainer #SolusiLangit
Comments
Post a Comment