Setahu saya, Rosulullah tidak ikut menyolatkan Abdullah bin Ubay bin Salul yang merupakan dedengkot kaum Munafik. Namun beliau juga tidak melarang para sahabat yang menyolatkannya karena ketidaktahuan mereka atas status munafik Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketidaktahuan akan status seseorang sebagai munafik pun adalah perkara yang wajar. Walaupun ada seorang sahabat nabi bernama Huzaifah bin Al Yaman yang memiliki ilmu rahasia untuk mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Sehingga Umar bin Khathab bisa yakin seseorang itu munafik atau tidak dengan mengikuti Huzaifah.
Memang ada ciri-ciri seorang itu bisa disebut sebagai munafik di dalam nash. Namun apakah kita bisa yakin, misalnya ketika dia berjanji untuk datang pada jam 8 namun datang jam 9, sebagai orang munafik misalnya? Atau dalam tataran yang lebih berat. Tiga ciri² yang telah sama kita ketahui tersebut harusnya menjadi semacam self correcrtion. Muhasabah kepada diri sendiri, apakah diri kita termasuk munafik atau tidak.
Saya sendiri kemudian tidak sepakat dengan adanya spanduk di masjid yang menyatakan tidak akan menyolatkan pendukung "nganu". Apakah pembuat spanduk atau (mungkin) pengurus masjid itu yakin, bahwa semua pendukung "nganu" adalah orang munafik? Bagaimana kalau bukan? Semisal di sebuah kampung bersepakat tidak menyelenggarakan jenazahnya melebihi waktu yang ditentukan, apa gak jadi dosa seluruh kaum muslimin karena tak terlaksananya fardhu kifayah tersebut?
Dalam fase tertentu. Kita tidak tahu perjalanan akhir hidup seorang manusia. Tidak pula bisa mengukur baik-buruknya seseorang hanya dari sekali jumpa.
Hemat saya. Kita boleh tidak suka. Tapi tidak suka lah dengan perilakunya. Bukan dengan orangnya. Karena orang bisa berubah. Seseorang bisa saja buruk gaya bahasa saat ini. Besok kan kita gak tau?
Kita benci sikap dan perilaku buruk, karena perilaku buruk itulah yang menjebloskan manusia ke dalam neraka.
Karenanya. Bencilah seseorang sekadarnya saja. Karena sikapnya. Demikian pulalah cintai seseorang sekadarnya saja. Karena sikapnya. Atau yang lebih agung lagi. Cinta dan benci kita karena Allah.
#SolusiLangit
Ketidaktahuan akan status seseorang sebagai munafik pun adalah perkara yang wajar. Walaupun ada seorang sahabat nabi bernama Huzaifah bin Al Yaman yang memiliki ilmu rahasia untuk mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Sehingga Umar bin Khathab bisa yakin seseorang itu munafik atau tidak dengan mengikuti Huzaifah.
Memang ada ciri-ciri seorang itu bisa disebut sebagai munafik di dalam nash. Namun apakah kita bisa yakin, misalnya ketika dia berjanji untuk datang pada jam 8 namun datang jam 9, sebagai orang munafik misalnya? Atau dalam tataran yang lebih berat. Tiga ciri² yang telah sama kita ketahui tersebut harusnya menjadi semacam self correcrtion. Muhasabah kepada diri sendiri, apakah diri kita termasuk munafik atau tidak.
Saya sendiri kemudian tidak sepakat dengan adanya spanduk di masjid yang menyatakan tidak akan menyolatkan pendukung "nganu". Apakah pembuat spanduk atau (mungkin) pengurus masjid itu yakin, bahwa semua pendukung "nganu" adalah orang munafik? Bagaimana kalau bukan? Semisal di sebuah kampung bersepakat tidak menyelenggarakan jenazahnya melebihi waktu yang ditentukan, apa gak jadi dosa seluruh kaum muslimin karena tak terlaksananya fardhu kifayah tersebut?
Dalam fase tertentu. Kita tidak tahu perjalanan akhir hidup seorang manusia. Tidak pula bisa mengukur baik-buruknya seseorang hanya dari sekali jumpa.
Hemat saya. Kita boleh tidak suka. Tapi tidak suka lah dengan perilakunya. Bukan dengan orangnya. Karena orang bisa berubah. Seseorang bisa saja buruk gaya bahasa saat ini. Besok kan kita gak tau?
Kita benci sikap dan perilaku buruk, karena perilaku buruk itulah yang menjebloskan manusia ke dalam neraka.
Karenanya. Bencilah seseorang sekadarnya saja. Karena sikapnya. Demikian pulalah cintai seseorang sekadarnya saja. Karena sikapnya. Atau yang lebih agung lagi. Cinta dan benci kita karena Allah.
#SolusiLangit
Comments
Post a Comment