Di belahan bumi yang lain, buah Durian tidak digemari. Karena baunya yang amat menyengat, busuk macam "kaos kaki" ujar mereka. Bahkan, ketika naik pesawat buah ini terlarang untuk terbang.
Tapi di Indonesia, dan beberapa negara lain di Asia tenggara. Durian adalah primadona, meski tidak sedikit pula yang merasa mual atau pusing saat aromanya tercium dari kejauhan. Istri dan keluarga saya termasuk menggemarinya. Kecuali dua anak kami yang masih balita itu.
Sepertinya. Suka dan tidak atas durian itu adalah perkara selera. Jika bukan selera, saya belum tahu padanan kata apa yang pas untuk menggambarkannya.
Ada kawan yang sampai saat ini belum menikah, padahal usianya sudah cukup matang. Dari segi finansial (menurut sangkaan saya) juga terkategori "mapan". Berapologi perihal kejomblo-annya atas belum ada yang cocok, klik, pas.
Lebih jauh lagi, kabarnya dia menginginkan paras wanita idamannya umpama Citra Kirana ataulah Oki Setiana. Saya bilang ke dia: "sepertinya tidak mungkin". Atau sederhananya: Absurd! Karena hampir bisa dipastikan, sulit untuk mencarinya. Walau bukan berarti mustahil. Tapi, kau mau cari sampai kapan? B(r)ooooo!
Percayalah kawan! Kalau sudah menikah, kau pasti akan tahu. Wajah istrimulah yang menurutmu yang tercantik. Saya percaya itu. Apatah lagi kalau dikaitkan dengan teori saya sebelumnya (yang ditulis di blog hendramadjid.com) soal ada Rahasia dibalik kemiripan wajah suami-istri. Karena kecenderungan manusia mencari orang yang serupa dengannya.
Sekarang. Coba deh lu ngaca...! Hehehe.
Itu soal wajah. Belum lagi kalau bicara soal perilaku, status sosial, level pendidikan apalagi visi hidup dan visi dalam berumah tangga.
Well. Saya tidak mempermasalahkan soal kejomblo-annya. Silakan saja kau cari yang kau mau. Tapi, balik lagi ke perbincangan kita di awal. Ternyata, apa yang kawan saya itu idam-idamkan adalah soal selera. Selera. Dan selera. Orang (termasuk saya) mau protes-pun tak bisa. Karena selera adalah perihal rasa, perihal kenyamanan dan perihal kebiasaan.
Masih ingatkah kalian soal Rattatoile yang disajikan oleh tikus di film animasi berjudul sama? Itu ternyata adalah hidangan masa kecil yang mengingatkan kritikus makanan itu tentang masakan ibunya. Masakan terlezat dan terbaik yang pernah dia rasakan. Boleh jadi siapa saja akan bersepakat, bahwa makanan terenak Itu adalah masakan ibu (jika ibunya memasak di rumah). Banyak orang akan berbeda. Itu soal, "selera".
Istri saya berkelakar soal pilihan terakhir parfum yang saya pakai. Katanya, selera saya sama kayak bapaknya. Aih! Bisa saja, ini juga kenapa saya berjodoh dan menikah dengan dia. Ujug-ujug ketika dalam perjalanan menuju kantor, saya membuka dasbor mobil kawan yang lain dan bertemu parfum. Teman dibelakang nyeletuk, itu parfum mahal. Ratusan ribu harganya. Tebak, saya suka?
Tidak. Ha-ha-ha... Tapi itulah selera. Yang kabarnya, parfum tersebut adalah parfum para jomblo. Yah... Pantas saja.
Soal selera. Hemat saya, tidak ada benar-salah, terpuji-tercela. Kecuali ada faktor lain yang mengiringinya. Semisal terkait sikap. Ingat sikap berbeda hukumnya dengan rasa suka dan tidak. Dan seringkali, selera ini tidak ada alasannya. Kalau tidak suka, ya tidak suka. Titik.
Saya suka lagu up-beat, suka dangdut, suka jazz dan sebagian besar musik lain. Kecuali beberapa lagi.
Soal selera ini, saya teringat dengan sebuah ayat dalam Al Qur'an yang menyatakan: "boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu. Boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu...". Ayat ini diawali soal kewajiban berperang. Banyak yang tidak suka perang, darah bercucuran dan ragam aksi lain dalam peperangan. Namun, jika telah diperintahkan oleh Allah. Maka, kita bisa kubur jauh-jauh rasa tidak suka kita dan lalu menjalankan perintah-Nya. Walaupun itu tidak berarti, kita menyukainya.
Itu dulu...
Disambung nanti.
Banjarbaru, 010217
Saudaramu,
Hendra Abutsman
Tapi di Indonesia, dan beberapa negara lain di Asia tenggara. Durian adalah primadona, meski tidak sedikit pula yang merasa mual atau pusing saat aromanya tercium dari kejauhan. Istri dan keluarga saya termasuk menggemarinya. Kecuali dua anak kami yang masih balita itu.
Sepertinya. Suka dan tidak atas durian itu adalah perkara selera. Jika bukan selera, saya belum tahu padanan kata apa yang pas untuk menggambarkannya.
Ada kawan yang sampai saat ini belum menikah, padahal usianya sudah cukup matang. Dari segi finansial (menurut sangkaan saya) juga terkategori "mapan". Berapologi perihal kejomblo-annya atas belum ada yang cocok, klik, pas.
Lebih jauh lagi, kabarnya dia menginginkan paras wanita idamannya umpama Citra Kirana ataulah Oki Setiana. Saya bilang ke dia: "sepertinya tidak mungkin". Atau sederhananya: Absurd! Karena hampir bisa dipastikan, sulit untuk mencarinya. Walau bukan berarti mustahil. Tapi, kau mau cari sampai kapan? B(r)ooooo!
Percayalah kawan! Kalau sudah menikah, kau pasti akan tahu. Wajah istrimulah yang menurutmu yang tercantik. Saya percaya itu. Apatah lagi kalau dikaitkan dengan teori saya sebelumnya (yang ditulis di blog hendramadjid.com) soal ada Rahasia dibalik kemiripan wajah suami-istri. Karena kecenderungan manusia mencari orang yang serupa dengannya.
Sekarang. Coba deh lu ngaca...! Hehehe.
Itu soal wajah. Belum lagi kalau bicara soal perilaku, status sosial, level pendidikan apalagi visi hidup dan visi dalam berumah tangga.
Well. Saya tidak mempermasalahkan soal kejomblo-annya. Silakan saja kau cari yang kau mau. Tapi, balik lagi ke perbincangan kita di awal. Ternyata, apa yang kawan saya itu idam-idamkan adalah soal selera. Selera. Dan selera. Orang (termasuk saya) mau protes-pun tak bisa. Karena selera adalah perihal rasa, perihal kenyamanan dan perihal kebiasaan.
Masih ingatkah kalian soal Rattatoile yang disajikan oleh tikus di film animasi berjudul sama? Itu ternyata adalah hidangan masa kecil yang mengingatkan kritikus makanan itu tentang masakan ibunya. Masakan terlezat dan terbaik yang pernah dia rasakan. Boleh jadi siapa saja akan bersepakat, bahwa makanan terenak Itu adalah masakan ibu (jika ibunya memasak di rumah). Banyak orang akan berbeda. Itu soal, "selera".
Istri saya berkelakar soal pilihan terakhir parfum yang saya pakai. Katanya, selera saya sama kayak bapaknya. Aih! Bisa saja, ini juga kenapa saya berjodoh dan menikah dengan dia. Ujug-ujug ketika dalam perjalanan menuju kantor, saya membuka dasbor mobil kawan yang lain dan bertemu parfum. Teman dibelakang nyeletuk, itu parfum mahal. Ratusan ribu harganya. Tebak, saya suka?
Tidak. Ha-ha-ha... Tapi itulah selera. Yang kabarnya, parfum tersebut adalah parfum para jomblo. Yah... Pantas saja.
Soal selera. Hemat saya, tidak ada benar-salah, terpuji-tercela. Kecuali ada faktor lain yang mengiringinya. Semisal terkait sikap. Ingat sikap berbeda hukumnya dengan rasa suka dan tidak. Dan seringkali, selera ini tidak ada alasannya. Kalau tidak suka, ya tidak suka. Titik.
Saya suka lagu up-beat, suka dangdut, suka jazz dan sebagian besar musik lain. Kecuali beberapa lagi.
Soal selera ini, saya teringat dengan sebuah ayat dalam Al Qur'an yang menyatakan: "boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu. Boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu buruk bagimu...". Ayat ini diawali soal kewajiban berperang. Banyak yang tidak suka perang, darah bercucuran dan ragam aksi lain dalam peperangan. Namun, jika telah diperintahkan oleh Allah. Maka, kita bisa kubur jauh-jauh rasa tidak suka kita dan lalu menjalankan perintah-Nya. Walaupun itu tidak berarti, kita menyukainya.
Itu dulu...
Disambung nanti.
Banjarbaru, 010217
Saudaramu,
Hendra Abutsman
Comments
Post a Comment